Kamis, 12 Mei 2016

Perilaku Negatif Pelajar Indonesia, Cermin Karakter Pancasila yang Rendah



1.      Fenomena Coret-mencoret Baju setelah Kelulusan

Sumber Detik.com

LULUS adalah sebuah kata yang bermakna besar dan sangat berarti bagi semua peserta didik di negeri ini karena dianggap sebagai momen yang dinanti-nantikan sekaligus mengelisahkan dan menegangkan. Alangkah bahagia yang luar biasa atau tiada taranya untuk meluapkan rasa apresiasi itu bagi seorang peserta didik tatkala memeroleh kata-kata “lulus” di ujung namanya saat berita kelulusan itu    dikeluarkan atau diumumkan oleh pihak sekolah mereka.

Sumber Kaskus.co.id
Begitu banyak respon setiap peserta didik saat melihat nomornya. Tentunya bagi yang lulus, pasti sangat senang dan mersa lega karena terlepas dari bayangan buruk terhadap dirinya. Namun, bagi peserta didik yang melihat bahwa dirinya tidak lulus, tentunya merasa shock. Bahkan, ada yang jatuh pingsan, menangis histeris karena tidak sanggup menerima keadaan maka akan merasa depresi. Memang banyak dampak yang diakibatkan lantaran kelulusan itu. Bagi peserta didik yang dinyatakan lulus tentunya mereka merayakannya dengan berbagai macam cara. Namun, pada umumnya banyak di antara mereka yang melakukannya dengan cara perilaku yang menyimpang.
Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa fenomena kelulusan itu, disambut dengan berbagai hal ekspresi, baik ekspresi positif ataupun negatif. Akan tetapi, kelulusan di seantero Indonesia lebih banyak dirayakan dengan hal-hal yang bernuansa negatif atau menyimpang. Dari pihak sekolah, pada umumnya, tak bisa berkutik banyak menanggulangi perilaku menyimpang yang dilakukan oleh peserta didiknya. Makanya, perilaku menyimpang tersebut semakin merajalela di kehidupan kini. Contoh dari adanya perubahan globalisasi bagi generasi muda, yakni budaya konvoi dan coret-mencoret seragam.
Fenomena tersebut adalah sebuah kebiasaan buruk, kami para guru kerap kali mencoba mengatasi hal tersebut misalnya dengan menghimbau kepada para siswa kelas 12 yang baru lulus untuk segera mengumpulkan baju seragam bekas yang layak pakai untuk disumbangkan kepada yang membutuhkan misalnya panti atau korban sebuah bencana. Sebagian anak ada yang menuruti himbauan guru tapi ada juga yang tidak, ada juga mereka yang menyumbangkan pakaian bekasnya dan corat-coret juga, rupanya mereka memiliki dua atau lebih seragam ya untuk disumbangkan ada dan untuk di corat-coret juga ada.

2.      Perilaku Bullying Disekolah
Sumber Liputan6.com

Baru-baru ini publik dihebohkan dengan perilaku pelajar yang semakin brutal. Sebanyak enam siswa SMAN 3, Jakarta Selatan, yang terlibat dalam aksi bullying atau perundungan terhadap para adik kelas mereka tak diluluskan oleh sekolahnya. Mereka menjadi bagian dari 45 siswa yang tidak lulus ujian tingkat SMA di DKI Jakarta pada tahun ini. Informasi itu disampaikan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di sela-sela kunjungan hari pertama pelaksanaan ujian nasional (UN) tingkat SMP di SMP 41, Ragunan, Jakarta.
Ahok mengatakan "Kita kelulusan sebenarnya 99,96 persen. (Yang tidak lulus) itu pun tidak lulus karena dia melakukan bullying, kita tidak luluskan enam orang". Atas dasar itu, Ahok kembali menegaskan agar pelajar tidak lagi mencoba-coba melakukan bullying. Dia menyatakan bullying telah merusak aspek perilaku siswa, yang masuk dalam salah satu indikator penilaian kelulusan. Kemudian Ahok menambahkan “Jadi yang tidak lulus ini bukan karena pelajaran, tapi karena karakternya. Tidak lulus dan dikeluarkan dari SMA 3”.[1]
Bullying yang terjadi di SMAN 3 itu sendiri berawal saat para pelajar kelas XII mengetahui ada pelajar kelas X yang mengunjungi sebuah kafe yang menyuguhkan penampilan DJ. Bagi mereka, para adik kelasnya itu belum pantas pergi ke tempat tersebut. Para pelajar kelas XII kemudian memanggil para pelajar X tersebut. Di sebuah warung di depan sekolahnya, mereka memberikan hukuman kepada adik kelasnya itu. Salah satu bentuknya adalah dengan menjadikan kepala para adik kelasnya itu sebagai asbak rokok.
Kepala SMAN 3 Jakarta Ratna Budiarti mengatakan, selain dinyatakan tidak lulus, enam siswi yang melakukan bullying atau perundungan tidak dapat mengulang sekolah di SMA negeri di Jakarta. Hal tersebut sesuai dengan instruksi dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Dengan adanya sanksi tidak lulus dan tidak dapat mengulang di sekolah negeri, Ratna berharap kasus bullying yang dilakukan enam siswinya tidak terulang. Sebab, pihak sekolah tidak akan memberikan toleransi terhadap para pelaku bullying dan aksi anarkistis lainnya.
Sangat memprihatinkan sekali, sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa-siswanya dalam menuntut ilmu tetapi malah menjadi tempat untuk melakukan kejahatan bullying. Siswa yang seharusnya sibuk belajar demi Ujian Nasional (UN) tetapi malah sibuk mengganggu adik tingkatnya. Hal ini harus segera dicari solusinya supaya peristiwa serupa tidak terjadi lagi, karena perilaku bullying adalah perilaku yang tidak seharusnya dilakukan oleh pelajar. Seharusnya pelajar itu berperilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila serta belajar dengan giat untuk mencapai cita-citanya. 

Sabtu, 30 April 2016

Resensi Buku RETHINKING MULTICULTURALISM, Keberagaman Budaya dan Teori Politik



Resensi Buku RETHINKING MULTICULTURALISM, Keberagaman Budaya dan Teori Politik
(Bab 6 Menata Kembali Negara Modern)

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Drs. Machmud AR, S.H, M.Si

                                                       Disusun oleh :

Nama          : Riska Anggraini Saputri
Kelas           : B
NIM            : K6413062

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
                      UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015

A.    IDENTITAS BUKU

Judul

RETHINKING MULTICULTURALISM, Keberagaman Budaya dan Teori Politik

Seri ISBN
978-979-21-1988-6

Pengarang
Bhikhu Parekh

Terbit
09-12-2008

Halaman
530

Dimensi (mm)
155x235

Berat

0.71 kg
Penerbit











B.     RESENSI
Bab 6 Menata Kembali Negara Modern
Ketika negara modern mulai muncul di akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, kelompok-kelompok sosial berbeda yang memiliki kepentingan dan harapan berbeda berusaha membentuknya dengan cara-cara yang berbeda, sehingga memunculkan banyak perjuangan politik dan diskusi filosofis mengenai sifat, struktur, fungsi, dan tempatnya di dalam kehidupan sosial.
Dalam negara modern, wilayah memiliki arti yang sangat penting. Wilayah merupakan wujud dasar atau tubuh negara. Wilayah membedakan dengan sangat jelas suatu negara dari negara lain sehingga tidak ada keraguan bagi anggota-anggotanya dan orang luar dari mana awalnya dan sampai kemana akhir batas-batasnya. Batas wilayah tersebut memagari para anggotanya dan memberi identitas geografis dan politik yang jelas termasuk nama kolektif. Memasuki wilayah negara berarti memasuki yuridiksi dan tunduk kepada otoritasnya. Berbeda dengan hampir semua pemerintahan sebelumnya, negara modern menawarkan perlindungan kepada semua orang yang berada di dalam batas wilayahnya, terlepas dari mereka menjadi anggota penuh atau tidak.
Pentingnya wilayah bagi negara modern ditegaskan secara resmi oleh Pakta Westphalia pada tahun 1648 (Spruyt, 1994). Untuk waktu yang lama agen-agen non-teritorial adalah agen-agen yang berdiri sendiri dan otonom dapat mengadakan hubungan terikat dengan pemerintah-pemerintah. Negara modern cukup unik dalam memberikan identitas teritorialnya, para warganya tentu saja mempunyai banyak identitas, hubungan dan kesetiaan, namun identitas wilayah lebih berperan dan dominan, sebuah aspek yang ditetapkan dengan tegas oleh Pakta Westphalia dan semua perjanjian internasional berikutnya.
Negara modern juga mewakili suatu bentuk yang secara historis unik dalam mendefinisikan dan menghubungkan para warganya. Tidak seperti pemerintahan-pemerintahan pramodern, ia menghilangkan kelas, etinis, agama, dan status sosial, dll dari warganya dan menyatukan mereka dalam bentuk penerimaan mereka terhadap suatu sistem kekuasaan, yang juga dihilangkan dari struktur relasi-relasi sosial yang lebih luas. Karena perbedaan-perbedaan mereka yang dimunculkan secara sosial dihilangkan, warga negara dihomogenkan dan dihubungkan dengan negara melalui cara yang sama, menikmati status dan memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Wewenang negara modern bukan suatu kumpulan hak dan prerogatif yang terpisah. Semua ini merupakan aspek atau atribut dari sebuah kekuasaan tunggal, kekuasaan dasar dan menyeluruh yang disebut kedaulatan. Dalam negara modern, sistem-sistem kekuasaan yang berbeda digantikan oleh kekuasaan yang berdaulat, bersatu, tertinggi dan tidak dibatasi secara hukum yang dianggap sebagai asal dari semua kekuasaan lain. Kedaulatan dianggap telah melekat dalam negara, negara memiliki kedaulatan karena ia adalah negara.
Selanjutnya negara modern terbentuk dari dan diharapkan memenuhi enam persyaratan berikut:
1.      Harus memiliki wilayah yang jelas, memiliki sumber kedaulatan tunggal dan secara sah memiliki kekuasaan yang tidak terbatas di dalam batas-batas wilayahnya.
2.      Harus berlandaskan pada satu kumpulan prinsip konstitusional dan memperlihatkan identitas tunggal dan jelas
3.      Warga dari suatu negara harus memiliki hak-hak yang sama
4.      Kewarganegaraan merupakan suatu hubungan antara individu dan negara yang seragam, tidak dimediasikan dan homogen
5.      Anggota-anggota dari negara merupakan masyarakat tunggal dan bersatu
6.      Jika negara terbentuk dari negara-negara bagian, maka unit-unit yang menjadi komponennya harus secara umum memiliki hak-hak dan kekuasaan yang sama.
Negara modern merupakan pencapaian luar biasa dan otentik dari Eropa. Namun negara modern memiliki beberapa kelemahan, satu yang utama adalah kecenderungannya pada homogenitas politik dan budaya. Karena negara beranggapan dan berusaha menjamin homogenitas, ia memiliki kecenderungan untuk menjadi sebuah bangsa. Sering dikatakan bahwa bangsa dan negara merupakan jenis organisasi politik yang berbeda, dan bahwa negara–negara merupakan hasil dari pembajakan oleh kaum nasionalis yang kurang beruntung terhadap negara.
Negara modern menganggap baik suatu masyarakat yang secara budaya homogen atau bersedia menjadi homogen. Negara modern dapat dengan mudah menjadi instrumen ketidakadilan daan penindasan, bahkan menimbulkan ketidakstabilan dan penarikan diri yang coba dicegahnya. Hal ini akan jelas terlihat ketika kita mengamati kasus Kanada yang kini sedang menghadapi persoalan-persoalan yang diciptakan oleh teori dominan negara dalam sebagian besar masyarakat multikultur.
Perdebatan Kanada
Selama seperempat abad mayoritas orang Quebec yang berbahasa Perancis telah menyatakan bahwa mereka merupakan komunitas budaya berbeda yang memiliki sejarah, bahasa, sistem hukum, nilai, konsep tempat di dunia, kesadaran kolektif, sebagai kelompok manusia yang berbeda. Orang Quebec mengagnggap bahwa masyarakat berbahasa Perancis di bagian lain Kanada ditekan untuk meninggalkan bahasa dan budaya mereka sebagai tindak penghianatan, dan mereka sendiri bertekad untuk menghindari nasib itu dengan pengorbanan apapun.
Dengan tujuan tersebut orang Quebec mengajukan dua jenis tuntutan. Yang pertama, negara kanada mengakui orang Quebec sebagai “masyarakat khusus”, measukannya di dalam Piagam, dan mendefinisikan dirinya sebagai negara dwibangsa yang bertekad menumbuhkembangkan kedua identitas tersebut. Jenis tuntutan kedua orang-orang Quebec lebih khusus dan terikat dengan kekuasaan yang demi memeilhara identitasnya.
Setelah melewati banyak pertentangan dan negosiasi yang panjang. Kanada memenuhi banyak tututan Quebec. Kini Quebec memiliki kontrol yang besar terhadap imigrasi. Namun ada dua hal penting yang tidak tercapai dalam tuntutan Quebec. Perjanjian Meech Lake tahun 1987 yang mengakuinya sebagai masyarakat “khusus” keberadaan orang-orang berbahasa Perancis sebagai “karakteristik dasar” Kanada, tidak diratifikasi oleh semua wakil provinsi pada saat itu. Quebec juga diikat oleh Piagam Kanada, yang sebagian ketentuannya mengahalangi Quebec untuk memperjuangkan kebijakan-kebijakan budaya dan bahasa seperti yang diinginkannya kecuali Quebec merupakan negara merdeka sendiri.
Alasan-alasan mengapa orang Kanada yang meskipun bersimpati dengan aspirasi Quebec dan senang dengan etos dwibudaya negaranya, merasa bahwa tuntutan federasi yang asimetris dari Quebec bertentangan dengan keyakinan paling dalam mereka tentang bagaimana seharusnya negara tersusun:
1.      Setiap negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip hukum dan politik dan semua warga negara setia kepada prinsip-prinsip tersebut
2.      Tuntutan Quebec untuk mendapatkan status khusus dan federasi asimetris yang terbentuk dari status khusus ini melanggar prinsipkesetaraan provinsi yang harus menandai suatu negara federal yang tersusun dengan baik
3.      Semua orang Kanada “berada di atas” orang Kanada dan secara sekunder merupakan orang Quebec, orang Ontario atau yang lainnya
4.      Sebagaimana ditunjukkan oleh Piagam, Kanada adalah negara liberal yang bekomitmen untuk memelihara hak-hak dasar dari warga negaranya
5.      Warga negara dari suatu negara harus mendapatkan hak-hak dan kebebasan yang sama di mana pun mereka tinggal
6.      Negara Kanada merupakan suatu masyarakat tunggal dan bersatu, dan keputusan mayoritas bersifat mengikat bagi semua orang.
Keenam argumen di atas didasarkan pada teori dominan tentang negara yang telah dikemukakan sebelumnya dan menyoroti ketidakmampuan negara untuk mengatasi perbedaan yang mendalam. Argumen ke-1 meskipun negara tidak selalu perlu untuk memiliki pernyataan hak-hak dasar yang dilindungi secara konstitusional, namun argumen yang baik bisa berasal dari pernyataan hak-hak dasar itu dalam masyarkat multikultural asalkan hak-hak tersebut mendapat dukungan luas dari komunitas-komunitas konstituennya.

Argumen ke-2 keliru karena argument itu tidak berhasil mengapresiasi bahwa ketika provinsi-provinsi memiliki sejarah, latar belakang dan kebutuhan yang berbeda, memperlakukan mereka seolah-olah sama adalah memperlakukan mereka secara tidak adil. Arguman ke-3 merupakan poin penting tetapi terlalu dibesar-besarkan dan keliru memahaminya. Kewarganegaraan merupakan status penting dan tak ada komunitas politik yang bisa bertahan lama jika para warganya tidak mengidentifiksi diri kewarganegaraannya. Argumen ke-4 dan ke-5 didasarkan pada sebuah kesalahan umum. Entah Kanada merupakan negara liberal atau tidak, hal itu harus diputuskan oleh semua komunitas utamanya bukan oleh salah satu komunitas utama saja. Argumen ke-6 benar, tetapi tidak bisa mengukur batas-batasnya. Prinsip kekuasaan mayoritas mengasumsikan adanya sebuah masyarakat tunggal dan homogen yang memandang diri mereka sebagai suatu masyarakat dan berperilaku sama.
Perdebatan India
 Kasus di India, perhatikan bahwa negara bagian Khasmir memiliki budaya berbeda dan sangat ingin memelihara idenetitasnya. Pasal 370 Konstitusi India memberinya kesuasaan dan perlindungan yang tidak diberikan kepada negara-negara bagian lain, dan legislasi selanjutnya melarang warga negara di bagian lain India untuk menetap dan membeli tanah di Khasmir. Penghormatan kepada identitas agama dan budaya mereka di stu sisi dan pengurangan ketakutan terhadap kekuasaan Hindu di sisi lain menyebabkan Konstitusi India mengizinkan agama minoritas untuk mempertahankan hukum mereka sendiri dan sepakat untuk tidak mengubah hukum-hukum itu tanpa sepengetahuan India.
 Parlemen memiliki kontrol administrasi yang lebih besar terhadap institusi-institusi agama Hindu dibanding institusi-institusi non-Hindu, dan mengatur aktivitas para penjahat yang menyamar sebagai orang suci Hindu di komunitas-komunitas lain. Alasan-alasan dari perlakuan berbeda tersebut kompleks, sebagian besar orang Hindu mempercayai negara dan siap untuk mengizinkan negara bertindak sebagai kekuatan reformis mereka.
Semua hal yang memunculkan pertentangan hebat di kalangan Hindu militan dan sebagian kaum liberal pada umumnya memiliki dasar-dasar yang sama seperti yang terjadi di Quebec. Dikatakan bahwa negara harus didasarkan pada sekumpulan prinsip tunggal yang seragam, negara harus memiliki sistem hukum yang seragam, dan prinsip kesetaraan warga negara mengharuskan semua warga negara di wilayah mana pun memiliki hak-hak dasar dan kewajiban-kewajiban yang sama. Bahwa mengizinkan kaum minoritas memiliki hukum sendiri dan memberikan komunitas-komunitas minoritas tersebut hak veto terhadap perubahan dalam hukum-hukum itu mengancam identitas negara, dan bahwa negara tidak boleh menghiraukan identitas-identitas agama, etnis, identitas lain, dan sebagainya.
Kasus India sekali lagi mengilustrasikan kesulitan menerapkan teori dominan tentang negara pada masyarakat yang memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar. Kalangan minoritas telah beraksi lebih keras terhadap usulan rasionalisasi negara dan memaksa partai Bhratiya Janata untuk merendahkan atau membatalkan usulan-usulannya. Usulan-usulan itu bukan hanya tidak bisa berjalan secara politik, tetapi juga tidak memiliki dasar dalam keadilan. Ketika komunitas-komunitas yang berbeda memiliki kebutuhan yang berlainan dan tidak sama dalam aspek-aspek yang relevan, adalah tidak adil jika memaksakan perlakuan yang sama kepada mereka.
Selama negara tidak bisa mengabaikan pelanggaran terhadap sebagian dari undang-undang ini daan perlu menegakkan prinsip-prinsip keadilan dasar tertentu, maka satu-satunya tindakan yang dapat diterapkan adalah mengupayakan apa yang disebut para Uskup Katolik dalam konferensi 1998 sebagai hukum perdata kesatuan bukan hukum perdata seragam. Karena sebagian besar orang India mendefinisikan dirinya sebagai individu dan anggota komunitas tertentu dan menuntut hak-hak individu dan kolektif, tidak ada alasan mengapa negara India tidak boleh memiliki sifat-sifat liberal dan non-liberal sekaligus dan memperlihatkan identitas politik ganda bagi warganya.

Pencarian Formasi Politik Baru
Secara umum, negara modern merupakan integrasi institusional dari beberapa fungsi berbeda dalam satu unit kawasan atau politik. Hal inilah yang menjadi satu-satunya faktor yang bisa mempertahankan integritas wilayah, yang bisa menghasilkan sistem legitimasi kekuasaan dalam batas wilayahnya untuk mengatur perekonomian, untuk melindungi dan menyebarkan budaya nasional dan merupakan lambing identitas bersama penduduknya. Berkat teknologi militer, globaliasasi, ekonomi yang saling mendukung, serta penegasan identitas budaya, etnis dan identitas-identitas lainnya, fungsi-fungsi militer, politik, ekonomi, simbolis tradisional negara dewasa ini memiliki logika yang sangat berbeda yang semuanya bermuara kepada negara.
Ini tidak berarti bahwa negara akan memudar atau menjadi usang, ia tetap menjalankan peran historis yang penting, karena dewasa ini negara sendiri bisa menyediakan suatu struktur kekuasan yang stabil dan demokratis, untuk menetapkan aturan hukum, untuk menjaga ketertiban, untuk menjamin keadilan sosial kepada warga negaranya. Tetapi beberapa fungsi tradisional lainnya telah kehilangan relevansi dan nilai, atau memerlukan struktur kekuasaan yang berbeda, atau tidak bisa dihilangkan begitu saja oleh negara.
Negara tidak bisa melepaskan fungsi-fungsi militer dan ekonominya, dan bukan merupakan suatu unit enkonomi dan militer yang kuat. Negara tidak sepenuhnya berdaulat atas wilayahnya tetapi harus berbagi kedaulatan wilayah dengan badan-badan lokal supranasional; sebaliknya kedaulatannya tidak terbatas pada wilayah tertentu dan sring menjangkau melewati batas-batasnya. Singkatnya, kesatuan wilayah, kedaulatan dan kebudayaan yang dulu begitu kental telah mempercepat perkembngan dan konsolidasi negara modern dan menyediakan landasan historis telah semakin cepat menglami disintegrasi.
Kedaulatan negara tidak harus terdiri dari suatu sistem kekuasaan tunggal dan uniter seperti yang dikemukakan oleh sebagian pakar besar sejak Hobbes, dan mungkin melibatkan beberapa pusat kekuasaan yang menjalankan yuridiksi secara tumpang tindih dan mengambil keputusan-keputusan melalui negosiasi dan kompromi. Kedaulatan negara bahkan tidak harus menjangkau semua bidang kehidupan sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian besar ahli negara, karena komunitas-komunitas konstituen mungkin tidak pernah menyerahkan hak untuk menentukan nasibnya sendiri kepada negara sebagaimana yang telah dilakukan individu dalam teori kedaulatan negara dari kaum kontraktualis tradisional. Kedaulatan negara bukan tidak terbatas dalam urusan kedalam atau keluar, terutama jika sebagian besar masyarakatnya melintasi batas-batas negara.
C.    KELEBIHAN
Buku ini sangat menarik menceritakan secara panjang lebar mengenai perkembangan terbentuknya negara modern dan juga masalah-masalah yang dihadapi dalam mewujudkan negara modern. Buku Rethinking Multiculturalism, Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Bab 6 Menata Kembali Negara Modern) ini memaparkan dengan jelas apa itu yang dimaksud dengan negara modern. Kemudian juga di dalam bab 6 buku ini telah disebutkan mengenai enam persyaratan terbentuknya negara modern. Buku ini juga telah menjelaskan kelebihan dan kelemahan dari negara modern. Selain itu di dalam bab 6 buku ini telah diberikan contoh mengeni negara modern dan permasalahan multikultur yang dihadapi oleh negara tersebut. Seperti dalam membahas mengenai permasalahan negara modern di Kanada dibahas dengan rinci sehingga pembaca buku dapat memahami dengan jelas permasalahan multikutural yang terjadi di kanada yaitu yang dialami oleh orang Quebec yang tinggal di Kanada. Kemudian dalam membahas alasan-alasan mengapa orang Kanada yang meskipun bersimpati dengan aspirasi Quebec dan senang dengan etos dwibudaya negaranya penulis memberikan argumennya pada setiap poin sehingga pembaca menjadi lebih paham.
Selain membahas permasalahan multikultural negara modern di Kanada pada bab 6 buku ini juga membahas tentang negara modern India, sehingga dengan membaca buku ini kita dapat memahami permasalahan multikultur yang terjadi di India. Setelah membaca buku ini saya mengetahui bahwa negara modern memiliki kelebihan dan kelemahan, karena kita tidak bisa menghapus negara moden ataupun mempertahankannya dalam bentuk seperti sekarang ini, kita perlu merumuskan kembali sifat dan peranannya. Negara tidak hanya harus terdiri dari satu orang saja, negara bisa merupakan kumpulan dari komunitas-komunitas, yang masing-masing memiliki tingkat otonomi berbeda tetapi dipersatukan oleh ikatan-ikatan hukum dan politik yang sama.
D.    KELEMAHAN
Dalam buku Buku Rethinking Multiculturalism, Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Bab  6 Menata Kembali Negara Modern) hanya diberikan dua contoh negara yang mengalami permasalahan dalam mewujudkan negara modern yaitu Kanada dan India. Akan lebih baik lagi jika diberikan lebih dari dua contoh, sehingga dapat lebih memperoleh pengetahuan yang lebih luas dan lebih jelas mengenai negara modern dan juga permasalahan multikultur yang dihadapi negara modern. Sehingga dengan hanya diberikan dua contoh maka penjelasannya masih kurang mendalam. Di dalam buku ini juga tidak menyinggung mengenai negara Indonesia, padahal negara Indonesia juga merupakan negara yang masyarakatnya multikultural. Selain itu buku ini belum memberikan solusi yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan multikultur yang dihadapi dalam mewujudkan negara modern.