Kamis, 12 Mei 2016

Perilaku Negatif Pelajar Indonesia, Cermin Karakter Pancasila yang Rendah



1.      Fenomena Coret-mencoret Baju setelah Kelulusan

Sumber Detik.com

LULUS adalah sebuah kata yang bermakna besar dan sangat berarti bagi semua peserta didik di negeri ini karena dianggap sebagai momen yang dinanti-nantikan sekaligus mengelisahkan dan menegangkan. Alangkah bahagia yang luar biasa atau tiada taranya untuk meluapkan rasa apresiasi itu bagi seorang peserta didik tatkala memeroleh kata-kata “lulus” di ujung namanya saat berita kelulusan itu    dikeluarkan atau diumumkan oleh pihak sekolah mereka.

Sumber Kaskus.co.id
Begitu banyak respon setiap peserta didik saat melihat nomornya. Tentunya bagi yang lulus, pasti sangat senang dan mersa lega karena terlepas dari bayangan buruk terhadap dirinya. Namun, bagi peserta didik yang melihat bahwa dirinya tidak lulus, tentunya merasa shock. Bahkan, ada yang jatuh pingsan, menangis histeris karena tidak sanggup menerima keadaan maka akan merasa depresi. Memang banyak dampak yang diakibatkan lantaran kelulusan itu. Bagi peserta didik yang dinyatakan lulus tentunya mereka merayakannya dengan berbagai macam cara. Namun, pada umumnya banyak di antara mereka yang melakukannya dengan cara perilaku yang menyimpang.
Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa fenomena kelulusan itu, disambut dengan berbagai hal ekspresi, baik ekspresi positif ataupun negatif. Akan tetapi, kelulusan di seantero Indonesia lebih banyak dirayakan dengan hal-hal yang bernuansa negatif atau menyimpang. Dari pihak sekolah, pada umumnya, tak bisa berkutik banyak menanggulangi perilaku menyimpang yang dilakukan oleh peserta didiknya. Makanya, perilaku menyimpang tersebut semakin merajalela di kehidupan kini. Contoh dari adanya perubahan globalisasi bagi generasi muda, yakni budaya konvoi dan coret-mencoret seragam.
Fenomena tersebut adalah sebuah kebiasaan buruk, kami para guru kerap kali mencoba mengatasi hal tersebut misalnya dengan menghimbau kepada para siswa kelas 12 yang baru lulus untuk segera mengumpulkan baju seragam bekas yang layak pakai untuk disumbangkan kepada yang membutuhkan misalnya panti atau korban sebuah bencana. Sebagian anak ada yang menuruti himbauan guru tapi ada juga yang tidak, ada juga mereka yang menyumbangkan pakaian bekasnya dan corat-coret juga, rupanya mereka memiliki dua atau lebih seragam ya untuk disumbangkan ada dan untuk di corat-coret juga ada.

2.      Perilaku Bullying Disekolah
Sumber Liputan6.com

Baru-baru ini publik dihebohkan dengan perilaku pelajar yang semakin brutal. Sebanyak enam siswa SMAN 3, Jakarta Selatan, yang terlibat dalam aksi bullying atau perundungan terhadap para adik kelas mereka tak diluluskan oleh sekolahnya. Mereka menjadi bagian dari 45 siswa yang tidak lulus ujian tingkat SMA di DKI Jakarta pada tahun ini. Informasi itu disampaikan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di sela-sela kunjungan hari pertama pelaksanaan ujian nasional (UN) tingkat SMP di SMP 41, Ragunan, Jakarta.
Ahok mengatakan "Kita kelulusan sebenarnya 99,96 persen. (Yang tidak lulus) itu pun tidak lulus karena dia melakukan bullying, kita tidak luluskan enam orang". Atas dasar itu, Ahok kembali menegaskan agar pelajar tidak lagi mencoba-coba melakukan bullying. Dia menyatakan bullying telah merusak aspek perilaku siswa, yang masuk dalam salah satu indikator penilaian kelulusan. Kemudian Ahok menambahkan “Jadi yang tidak lulus ini bukan karena pelajaran, tapi karena karakternya. Tidak lulus dan dikeluarkan dari SMA 3”.[1]
Bullying yang terjadi di SMAN 3 itu sendiri berawal saat para pelajar kelas XII mengetahui ada pelajar kelas X yang mengunjungi sebuah kafe yang menyuguhkan penampilan DJ. Bagi mereka, para adik kelasnya itu belum pantas pergi ke tempat tersebut. Para pelajar kelas XII kemudian memanggil para pelajar X tersebut. Di sebuah warung di depan sekolahnya, mereka memberikan hukuman kepada adik kelasnya itu. Salah satu bentuknya adalah dengan menjadikan kepala para adik kelasnya itu sebagai asbak rokok.
Kepala SMAN 3 Jakarta Ratna Budiarti mengatakan, selain dinyatakan tidak lulus, enam siswi yang melakukan bullying atau perundungan tidak dapat mengulang sekolah di SMA negeri di Jakarta. Hal tersebut sesuai dengan instruksi dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Dengan adanya sanksi tidak lulus dan tidak dapat mengulang di sekolah negeri, Ratna berharap kasus bullying yang dilakukan enam siswinya tidak terulang. Sebab, pihak sekolah tidak akan memberikan toleransi terhadap para pelaku bullying dan aksi anarkistis lainnya.
Sangat memprihatinkan sekali, sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa-siswanya dalam menuntut ilmu tetapi malah menjadi tempat untuk melakukan kejahatan bullying. Siswa yang seharusnya sibuk belajar demi Ujian Nasional (UN) tetapi malah sibuk mengganggu adik tingkatnya. Hal ini harus segera dicari solusinya supaya peristiwa serupa tidak terjadi lagi, karena perilaku bullying adalah perilaku yang tidak seharusnya dilakukan oleh pelajar. Seharusnya pelajar itu berperilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila serta belajar dengan giat untuk mencapai cita-citanya.