1.
Fenomena Coret-mencoret Baju setelah
Kelulusan
Sumber Detik.com |
LULUS adalah sebuah kata yang bermakna besar dan
sangat berarti bagi semua peserta didik di negeri ini karena dianggap sebagai
momen yang dinanti-nantikan sekaligus mengelisahkan dan menegangkan. Alangkah
bahagia yang luar biasa atau tiada taranya untuk meluapkan rasa apresiasi itu
bagi seorang peserta didik tatkala memeroleh kata-kata “lulus” di ujung namanya
saat berita kelulusan itu dikeluarkan atau diumumkan oleh pihak sekolah mereka.
Sumber Kaskus.co.id |
Begitu banyak
respon setiap peserta didik saat melihat nomornya. Tentunya bagi yang lulus,
pasti sangat senang dan mersa lega karena terlepas dari bayangan buruk terhadap
dirinya. Namun, bagi peserta didik yang melihat bahwa dirinya tidak lulus,
tentunya merasa shock. Bahkan, ada yang jatuh pingsan, menangis histeris karena
tidak sanggup menerima keadaan maka akan merasa depresi. Memang banyak dampak
yang diakibatkan lantaran kelulusan itu. Bagi peserta didik yang dinyatakan
lulus tentunya mereka merayakannya dengan berbagai macam cara. Namun, pada
umumnya banyak di antara mereka yang melakukannya dengan cara perilaku yang
menyimpang.
Memang sudah
menjadi rahasia umum bahwa fenomena kelulusan itu, disambut dengan berbagai hal
ekspresi, baik ekspresi positif ataupun negatif. Akan tetapi, kelulusan di
seantero Indonesia lebih banyak dirayakan dengan hal-hal yang bernuansa negatif
atau menyimpang. Dari pihak sekolah, pada umumnya, tak bisa berkutik banyak menanggulangi
perilaku menyimpang yang dilakukan oleh peserta didiknya. Makanya, perilaku
menyimpang tersebut semakin merajalela di kehidupan kini. Contoh dari adanya
perubahan globalisasi bagi generasi muda, yakni budaya konvoi dan
coret-mencoret seragam.
Fenomena tersebut
adalah sebuah kebiasaan buruk, kami para guru kerap kali mencoba mengatasi hal
tersebut misalnya dengan menghimbau kepada para siswa kelas 12 yang baru lulus
untuk segera mengumpulkan baju seragam bekas yang layak pakai untuk
disumbangkan kepada yang membutuhkan misalnya panti atau korban sebuah bencana.
Sebagian anak ada yang menuruti himbauan guru tapi ada juga yang tidak, ada
juga mereka yang menyumbangkan pakaian bekasnya dan corat-coret juga, rupanya
mereka memiliki dua atau lebih seragam ya untuk disumbangkan ada dan untuk di
corat-coret juga ada.
2. Perilaku
Bullying Disekolah
Sumber Liputan6.com |
Baru-baru ini publik dihebohkan dengan perilaku pelajar
yang semakin brutal. Sebanyak enam siswa SMAN 3, Jakarta Selatan, yang terlibat
dalam aksi bullying atau perundungan terhadap para adik kelas mereka
tak diluluskan oleh sekolahnya. Mereka menjadi bagian dari 45 siswa yang tidak
lulus ujian tingkat SMA di DKI Jakarta pada tahun ini. Informasi itu
disampaikan Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama atau
Ahok di sela-sela kunjungan hari pertama pelaksanaan ujian nasional (UN)
tingkat SMP di SMP 41, Ragunan, Jakarta.
Ahok mengatakan "Kita kelulusan sebenarnya 99,96
persen. (Yang tidak lulus) itu pun tidak lulus karena dia melakukan bullying,
kita tidak luluskan enam orang". Atas dasar itu, Ahok kembali menegaskan
agar pelajar tidak lagi mencoba-coba melakukan bullying. Dia menyatakan
bullying telah merusak aspek perilaku siswa, yang masuk dalam salah
satu indikator penilaian kelulusan. Kemudian Ahok menambahkan “Jadi yang tidak
lulus ini bukan karena pelajaran, tapi karena karakternya. Tidak lulus dan
dikeluarkan dari SMA 3”.[1]
Bullying yang terjadi di SMAN 3 itu sendiri berawal
saat para pelajar kelas XII mengetahui ada pelajar kelas X yang mengunjungi
sebuah kafe yang menyuguhkan penampilan DJ. Bagi mereka, para adik kelasnya itu
belum pantas pergi ke tempat tersebut. Para pelajar kelas XII kemudian
memanggil para pelajar X tersebut. Di sebuah warung di depan sekolahnya, mereka
memberikan hukuman kepada adik kelasnya itu. Salah satu bentuknya adalah dengan
menjadikan kepala para adik kelasnya itu sebagai asbak rokok.
Kepala SMAN 3 Jakarta Ratna Budiarti mengatakan, selain
dinyatakan tidak lulus, enam siswi yang melakukan bullying atau
perundungan tidak dapat mengulang sekolah di SMA negeri di Jakarta. Hal
tersebut sesuai dengan instruksi dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Dengan
adanya sanksi tidak lulus dan tidak dapat mengulang di sekolah negeri, Ratna
berharap kasus bullying yang dilakukan enam siswinya tidak terulang.
Sebab, pihak sekolah tidak akan memberikan toleransi terhadap para pelaku
bullying dan aksi anarkistis lainnya.
Sangat memprihatinkan sekali, sekolah yang seharusnya
menjadi tempat yang aman bagi siswa-siswanya dalam menuntut ilmu tetapi malah
menjadi tempat untuk melakukan kejahatan bullying.
Siswa yang seharusnya sibuk belajar demi Ujian Nasional (UN) tetapi malah sibuk
mengganggu adik tingkatnya. Hal ini harus segera dicari solusinya supaya
peristiwa serupa tidak terjadi lagi, karena perilaku bullying adalah perilaku yang tidak seharusnya dilakukan oleh
pelajar. Seharusnya pelajar itu berperilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur
Pancasila serta belajar dengan giat untuk mencapai cita-citanya.