Sabtu, 30 April 2016

Resensi Buku RETHINKING MULTICULTURALISM, Keberagaman Budaya dan Teori Politik



Resensi Buku RETHINKING MULTICULTURALISM, Keberagaman Budaya dan Teori Politik
(Bab 6 Menata Kembali Negara Modern)

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Drs. Machmud AR, S.H, M.Si

                                                       Disusun oleh :

Nama          : Riska Anggraini Saputri
Kelas           : B
NIM            : K6413062

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
                      UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015

A.    IDENTITAS BUKU

Judul

RETHINKING MULTICULTURALISM, Keberagaman Budaya dan Teori Politik

Seri ISBN
978-979-21-1988-6

Pengarang
Bhikhu Parekh

Terbit
09-12-2008

Halaman
530

Dimensi (mm)
155x235

Berat

0.71 kg
Penerbit











B.     RESENSI
Bab 6 Menata Kembali Negara Modern
Ketika negara modern mulai muncul di akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, kelompok-kelompok sosial berbeda yang memiliki kepentingan dan harapan berbeda berusaha membentuknya dengan cara-cara yang berbeda, sehingga memunculkan banyak perjuangan politik dan diskusi filosofis mengenai sifat, struktur, fungsi, dan tempatnya di dalam kehidupan sosial.
Dalam negara modern, wilayah memiliki arti yang sangat penting. Wilayah merupakan wujud dasar atau tubuh negara. Wilayah membedakan dengan sangat jelas suatu negara dari negara lain sehingga tidak ada keraguan bagi anggota-anggotanya dan orang luar dari mana awalnya dan sampai kemana akhir batas-batasnya. Batas wilayah tersebut memagari para anggotanya dan memberi identitas geografis dan politik yang jelas termasuk nama kolektif. Memasuki wilayah negara berarti memasuki yuridiksi dan tunduk kepada otoritasnya. Berbeda dengan hampir semua pemerintahan sebelumnya, negara modern menawarkan perlindungan kepada semua orang yang berada di dalam batas wilayahnya, terlepas dari mereka menjadi anggota penuh atau tidak.
Pentingnya wilayah bagi negara modern ditegaskan secara resmi oleh Pakta Westphalia pada tahun 1648 (Spruyt, 1994). Untuk waktu yang lama agen-agen non-teritorial adalah agen-agen yang berdiri sendiri dan otonom dapat mengadakan hubungan terikat dengan pemerintah-pemerintah. Negara modern cukup unik dalam memberikan identitas teritorialnya, para warganya tentu saja mempunyai banyak identitas, hubungan dan kesetiaan, namun identitas wilayah lebih berperan dan dominan, sebuah aspek yang ditetapkan dengan tegas oleh Pakta Westphalia dan semua perjanjian internasional berikutnya.
Negara modern juga mewakili suatu bentuk yang secara historis unik dalam mendefinisikan dan menghubungkan para warganya. Tidak seperti pemerintahan-pemerintahan pramodern, ia menghilangkan kelas, etinis, agama, dan status sosial, dll dari warganya dan menyatukan mereka dalam bentuk penerimaan mereka terhadap suatu sistem kekuasaan, yang juga dihilangkan dari struktur relasi-relasi sosial yang lebih luas. Karena perbedaan-perbedaan mereka yang dimunculkan secara sosial dihilangkan, warga negara dihomogenkan dan dihubungkan dengan negara melalui cara yang sama, menikmati status dan memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Wewenang negara modern bukan suatu kumpulan hak dan prerogatif yang terpisah. Semua ini merupakan aspek atau atribut dari sebuah kekuasaan tunggal, kekuasaan dasar dan menyeluruh yang disebut kedaulatan. Dalam negara modern, sistem-sistem kekuasaan yang berbeda digantikan oleh kekuasaan yang berdaulat, bersatu, tertinggi dan tidak dibatasi secara hukum yang dianggap sebagai asal dari semua kekuasaan lain. Kedaulatan dianggap telah melekat dalam negara, negara memiliki kedaulatan karena ia adalah negara.
Selanjutnya negara modern terbentuk dari dan diharapkan memenuhi enam persyaratan berikut:
1.      Harus memiliki wilayah yang jelas, memiliki sumber kedaulatan tunggal dan secara sah memiliki kekuasaan yang tidak terbatas di dalam batas-batas wilayahnya.
2.      Harus berlandaskan pada satu kumpulan prinsip konstitusional dan memperlihatkan identitas tunggal dan jelas
3.      Warga dari suatu negara harus memiliki hak-hak yang sama
4.      Kewarganegaraan merupakan suatu hubungan antara individu dan negara yang seragam, tidak dimediasikan dan homogen
5.      Anggota-anggota dari negara merupakan masyarakat tunggal dan bersatu
6.      Jika negara terbentuk dari negara-negara bagian, maka unit-unit yang menjadi komponennya harus secara umum memiliki hak-hak dan kekuasaan yang sama.
Negara modern merupakan pencapaian luar biasa dan otentik dari Eropa. Namun negara modern memiliki beberapa kelemahan, satu yang utama adalah kecenderungannya pada homogenitas politik dan budaya. Karena negara beranggapan dan berusaha menjamin homogenitas, ia memiliki kecenderungan untuk menjadi sebuah bangsa. Sering dikatakan bahwa bangsa dan negara merupakan jenis organisasi politik yang berbeda, dan bahwa negara–negara merupakan hasil dari pembajakan oleh kaum nasionalis yang kurang beruntung terhadap negara.
Negara modern menganggap baik suatu masyarakat yang secara budaya homogen atau bersedia menjadi homogen. Negara modern dapat dengan mudah menjadi instrumen ketidakadilan daan penindasan, bahkan menimbulkan ketidakstabilan dan penarikan diri yang coba dicegahnya. Hal ini akan jelas terlihat ketika kita mengamati kasus Kanada yang kini sedang menghadapi persoalan-persoalan yang diciptakan oleh teori dominan negara dalam sebagian besar masyarakat multikultur.
Perdebatan Kanada
Selama seperempat abad mayoritas orang Quebec yang berbahasa Perancis telah menyatakan bahwa mereka merupakan komunitas budaya berbeda yang memiliki sejarah, bahasa, sistem hukum, nilai, konsep tempat di dunia, kesadaran kolektif, sebagai kelompok manusia yang berbeda. Orang Quebec mengagnggap bahwa masyarakat berbahasa Perancis di bagian lain Kanada ditekan untuk meninggalkan bahasa dan budaya mereka sebagai tindak penghianatan, dan mereka sendiri bertekad untuk menghindari nasib itu dengan pengorbanan apapun.
Dengan tujuan tersebut orang Quebec mengajukan dua jenis tuntutan. Yang pertama, negara kanada mengakui orang Quebec sebagai “masyarakat khusus”, measukannya di dalam Piagam, dan mendefinisikan dirinya sebagai negara dwibangsa yang bertekad menumbuhkembangkan kedua identitas tersebut. Jenis tuntutan kedua orang-orang Quebec lebih khusus dan terikat dengan kekuasaan yang demi memeilhara identitasnya.
Setelah melewati banyak pertentangan dan negosiasi yang panjang. Kanada memenuhi banyak tututan Quebec. Kini Quebec memiliki kontrol yang besar terhadap imigrasi. Namun ada dua hal penting yang tidak tercapai dalam tuntutan Quebec. Perjanjian Meech Lake tahun 1987 yang mengakuinya sebagai masyarakat “khusus” keberadaan orang-orang berbahasa Perancis sebagai “karakteristik dasar” Kanada, tidak diratifikasi oleh semua wakil provinsi pada saat itu. Quebec juga diikat oleh Piagam Kanada, yang sebagian ketentuannya mengahalangi Quebec untuk memperjuangkan kebijakan-kebijakan budaya dan bahasa seperti yang diinginkannya kecuali Quebec merupakan negara merdeka sendiri.
Alasan-alasan mengapa orang Kanada yang meskipun bersimpati dengan aspirasi Quebec dan senang dengan etos dwibudaya negaranya, merasa bahwa tuntutan federasi yang asimetris dari Quebec bertentangan dengan keyakinan paling dalam mereka tentang bagaimana seharusnya negara tersusun:
1.      Setiap negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip hukum dan politik dan semua warga negara setia kepada prinsip-prinsip tersebut
2.      Tuntutan Quebec untuk mendapatkan status khusus dan federasi asimetris yang terbentuk dari status khusus ini melanggar prinsipkesetaraan provinsi yang harus menandai suatu negara federal yang tersusun dengan baik
3.      Semua orang Kanada “berada di atas” orang Kanada dan secara sekunder merupakan orang Quebec, orang Ontario atau yang lainnya
4.      Sebagaimana ditunjukkan oleh Piagam, Kanada adalah negara liberal yang bekomitmen untuk memelihara hak-hak dasar dari warga negaranya
5.      Warga negara dari suatu negara harus mendapatkan hak-hak dan kebebasan yang sama di mana pun mereka tinggal
6.      Negara Kanada merupakan suatu masyarakat tunggal dan bersatu, dan keputusan mayoritas bersifat mengikat bagi semua orang.
Keenam argumen di atas didasarkan pada teori dominan tentang negara yang telah dikemukakan sebelumnya dan menyoroti ketidakmampuan negara untuk mengatasi perbedaan yang mendalam. Argumen ke-1 meskipun negara tidak selalu perlu untuk memiliki pernyataan hak-hak dasar yang dilindungi secara konstitusional, namun argumen yang baik bisa berasal dari pernyataan hak-hak dasar itu dalam masyarkat multikultural asalkan hak-hak tersebut mendapat dukungan luas dari komunitas-komunitas konstituennya.

Argumen ke-2 keliru karena argument itu tidak berhasil mengapresiasi bahwa ketika provinsi-provinsi memiliki sejarah, latar belakang dan kebutuhan yang berbeda, memperlakukan mereka seolah-olah sama adalah memperlakukan mereka secara tidak adil. Arguman ke-3 merupakan poin penting tetapi terlalu dibesar-besarkan dan keliru memahaminya. Kewarganegaraan merupakan status penting dan tak ada komunitas politik yang bisa bertahan lama jika para warganya tidak mengidentifiksi diri kewarganegaraannya. Argumen ke-4 dan ke-5 didasarkan pada sebuah kesalahan umum. Entah Kanada merupakan negara liberal atau tidak, hal itu harus diputuskan oleh semua komunitas utamanya bukan oleh salah satu komunitas utama saja. Argumen ke-6 benar, tetapi tidak bisa mengukur batas-batasnya. Prinsip kekuasaan mayoritas mengasumsikan adanya sebuah masyarakat tunggal dan homogen yang memandang diri mereka sebagai suatu masyarakat dan berperilaku sama.
Perdebatan India
 Kasus di India, perhatikan bahwa negara bagian Khasmir memiliki budaya berbeda dan sangat ingin memelihara idenetitasnya. Pasal 370 Konstitusi India memberinya kesuasaan dan perlindungan yang tidak diberikan kepada negara-negara bagian lain, dan legislasi selanjutnya melarang warga negara di bagian lain India untuk menetap dan membeli tanah di Khasmir. Penghormatan kepada identitas agama dan budaya mereka di stu sisi dan pengurangan ketakutan terhadap kekuasaan Hindu di sisi lain menyebabkan Konstitusi India mengizinkan agama minoritas untuk mempertahankan hukum mereka sendiri dan sepakat untuk tidak mengubah hukum-hukum itu tanpa sepengetahuan India.
 Parlemen memiliki kontrol administrasi yang lebih besar terhadap institusi-institusi agama Hindu dibanding institusi-institusi non-Hindu, dan mengatur aktivitas para penjahat yang menyamar sebagai orang suci Hindu di komunitas-komunitas lain. Alasan-alasan dari perlakuan berbeda tersebut kompleks, sebagian besar orang Hindu mempercayai negara dan siap untuk mengizinkan negara bertindak sebagai kekuatan reformis mereka.
Semua hal yang memunculkan pertentangan hebat di kalangan Hindu militan dan sebagian kaum liberal pada umumnya memiliki dasar-dasar yang sama seperti yang terjadi di Quebec. Dikatakan bahwa negara harus didasarkan pada sekumpulan prinsip tunggal yang seragam, negara harus memiliki sistem hukum yang seragam, dan prinsip kesetaraan warga negara mengharuskan semua warga negara di wilayah mana pun memiliki hak-hak dasar dan kewajiban-kewajiban yang sama. Bahwa mengizinkan kaum minoritas memiliki hukum sendiri dan memberikan komunitas-komunitas minoritas tersebut hak veto terhadap perubahan dalam hukum-hukum itu mengancam identitas negara, dan bahwa negara tidak boleh menghiraukan identitas-identitas agama, etnis, identitas lain, dan sebagainya.
Kasus India sekali lagi mengilustrasikan kesulitan menerapkan teori dominan tentang negara pada masyarakat yang memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar. Kalangan minoritas telah beraksi lebih keras terhadap usulan rasionalisasi negara dan memaksa partai Bhratiya Janata untuk merendahkan atau membatalkan usulan-usulannya. Usulan-usulan itu bukan hanya tidak bisa berjalan secara politik, tetapi juga tidak memiliki dasar dalam keadilan. Ketika komunitas-komunitas yang berbeda memiliki kebutuhan yang berlainan dan tidak sama dalam aspek-aspek yang relevan, adalah tidak adil jika memaksakan perlakuan yang sama kepada mereka.
Selama negara tidak bisa mengabaikan pelanggaran terhadap sebagian dari undang-undang ini daan perlu menegakkan prinsip-prinsip keadilan dasar tertentu, maka satu-satunya tindakan yang dapat diterapkan adalah mengupayakan apa yang disebut para Uskup Katolik dalam konferensi 1998 sebagai hukum perdata kesatuan bukan hukum perdata seragam. Karena sebagian besar orang India mendefinisikan dirinya sebagai individu dan anggota komunitas tertentu dan menuntut hak-hak individu dan kolektif, tidak ada alasan mengapa negara India tidak boleh memiliki sifat-sifat liberal dan non-liberal sekaligus dan memperlihatkan identitas politik ganda bagi warganya.

Pencarian Formasi Politik Baru
Secara umum, negara modern merupakan integrasi institusional dari beberapa fungsi berbeda dalam satu unit kawasan atau politik. Hal inilah yang menjadi satu-satunya faktor yang bisa mempertahankan integritas wilayah, yang bisa menghasilkan sistem legitimasi kekuasaan dalam batas wilayahnya untuk mengatur perekonomian, untuk melindungi dan menyebarkan budaya nasional dan merupakan lambing identitas bersama penduduknya. Berkat teknologi militer, globaliasasi, ekonomi yang saling mendukung, serta penegasan identitas budaya, etnis dan identitas-identitas lainnya, fungsi-fungsi militer, politik, ekonomi, simbolis tradisional negara dewasa ini memiliki logika yang sangat berbeda yang semuanya bermuara kepada negara.
Ini tidak berarti bahwa negara akan memudar atau menjadi usang, ia tetap menjalankan peran historis yang penting, karena dewasa ini negara sendiri bisa menyediakan suatu struktur kekuasan yang stabil dan demokratis, untuk menetapkan aturan hukum, untuk menjaga ketertiban, untuk menjamin keadilan sosial kepada warga negaranya. Tetapi beberapa fungsi tradisional lainnya telah kehilangan relevansi dan nilai, atau memerlukan struktur kekuasaan yang berbeda, atau tidak bisa dihilangkan begitu saja oleh negara.
Negara tidak bisa melepaskan fungsi-fungsi militer dan ekonominya, dan bukan merupakan suatu unit enkonomi dan militer yang kuat. Negara tidak sepenuhnya berdaulat atas wilayahnya tetapi harus berbagi kedaulatan wilayah dengan badan-badan lokal supranasional; sebaliknya kedaulatannya tidak terbatas pada wilayah tertentu dan sring menjangkau melewati batas-batasnya. Singkatnya, kesatuan wilayah, kedaulatan dan kebudayaan yang dulu begitu kental telah mempercepat perkembngan dan konsolidasi negara modern dan menyediakan landasan historis telah semakin cepat menglami disintegrasi.
Kedaulatan negara tidak harus terdiri dari suatu sistem kekuasaan tunggal dan uniter seperti yang dikemukakan oleh sebagian pakar besar sejak Hobbes, dan mungkin melibatkan beberapa pusat kekuasaan yang menjalankan yuridiksi secara tumpang tindih dan mengambil keputusan-keputusan melalui negosiasi dan kompromi. Kedaulatan negara bahkan tidak harus menjangkau semua bidang kehidupan sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian besar ahli negara, karena komunitas-komunitas konstituen mungkin tidak pernah menyerahkan hak untuk menentukan nasibnya sendiri kepada negara sebagaimana yang telah dilakukan individu dalam teori kedaulatan negara dari kaum kontraktualis tradisional. Kedaulatan negara bukan tidak terbatas dalam urusan kedalam atau keluar, terutama jika sebagian besar masyarakatnya melintasi batas-batas negara.
C.    KELEBIHAN
Buku ini sangat menarik menceritakan secara panjang lebar mengenai perkembangan terbentuknya negara modern dan juga masalah-masalah yang dihadapi dalam mewujudkan negara modern. Buku Rethinking Multiculturalism, Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Bab 6 Menata Kembali Negara Modern) ini memaparkan dengan jelas apa itu yang dimaksud dengan negara modern. Kemudian juga di dalam bab 6 buku ini telah disebutkan mengenai enam persyaratan terbentuknya negara modern. Buku ini juga telah menjelaskan kelebihan dan kelemahan dari negara modern. Selain itu di dalam bab 6 buku ini telah diberikan contoh mengeni negara modern dan permasalahan multikultur yang dihadapi oleh negara tersebut. Seperti dalam membahas mengenai permasalahan negara modern di Kanada dibahas dengan rinci sehingga pembaca buku dapat memahami dengan jelas permasalahan multikutural yang terjadi di kanada yaitu yang dialami oleh orang Quebec yang tinggal di Kanada. Kemudian dalam membahas alasan-alasan mengapa orang Kanada yang meskipun bersimpati dengan aspirasi Quebec dan senang dengan etos dwibudaya negaranya penulis memberikan argumennya pada setiap poin sehingga pembaca menjadi lebih paham.
Selain membahas permasalahan multikultural negara modern di Kanada pada bab 6 buku ini juga membahas tentang negara modern India, sehingga dengan membaca buku ini kita dapat memahami permasalahan multikultur yang terjadi di India. Setelah membaca buku ini saya mengetahui bahwa negara modern memiliki kelebihan dan kelemahan, karena kita tidak bisa menghapus negara moden ataupun mempertahankannya dalam bentuk seperti sekarang ini, kita perlu merumuskan kembali sifat dan peranannya. Negara tidak hanya harus terdiri dari satu orang saja, negara bisa merupakan kumpulan dari komunitas-komunitas, yang masing-masing memiliki tingkat otonomi berbeda tetapi dipersatukan oleh ikatan-ikatan hukum dan politik yang sama.
D.    KELEMAHAN
Dalam buku Buku Rethinking Multiculturalism, Keberagaman Budaya dan Teori Politik (Bab  6 Menata Kembali Negara Modern) hanya diberikan dua contoh negara yang mengalami permasalahan dalam mewujudkan negara modern yaitu Kanada dan India. Akan lebih baik lagi jika diberikan lebih dari dua contoh, sehingga dapat lebih memperoleh pengetahuan yang lebih luas dan lebih jelas mengenai negara modern dan juga permasalahan multikultur yang dihadapi negara modern. Sehingga dengan hanya diberikan dua contoh maka penjelasannya masih kurang mendalam. Di dalam buku ini juga tidak menyinggung mengenai negara Indonesia, padahal negara Indonesia juga merupakan negara yang masyarakatnya multikultural. Selain itu buku ini belum memberikan solusi yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan multikultur yang dihadapi dalam mewujudkan negara modern.

RESENSI BUKU POLITIK MULTIKULTURALISME, Menggugat Realitas Kebangsaan



RESENSI BUKU  POLITIK MULTIKULTURALISME, Menggugat Realitas Kebangsaan
(Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia)
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Konsep Dasar Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Drs. Mahmud AR, SH, M.Si

                                                       Disusun oleh :

Nama          : Riska Anggraini Saputri
Kelas           : B
NIM            : K6413062

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
                      UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
A.          IDENTITAS BUKU
Judul Buku         : POLITIK MULTIKULTURALISME, Menggugat
  Realitas Kebangsaan
Editor                 : Robert W. Hefner
Penerbit              : Impulse, Kanisius, Yogyakarta
Cetakan              : I, 2007
Tebal Buku         : 507 Halaman
B.           RESENSI
Buku Robert W. Hefner yang berjudul Politik Multikulturalisme, Menggugat Realitas Kebangsaan bagian pendahuluan ini akan dibahas mengenai Multikulturalisme dan kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Robert W. Hefner memilih ketiga negara pluralis ini karena Malaysia, Singapura, dan Indonesia memiliki sejarah perkembangan multikultural yang sangat pesat dan masing-masing mempunyai keunikan. Mulai dari pluralitas etnis, agama, budaya, hingga kewarganegaraan. Persinggungan antara orang-orang melayu “pribumi” versus cina “pendatang”, menjadi keunikan tersendiri dalam kajian etnisitas dan etnoreligius di ketiga Negara tersebut. Dalam bunga rampai ini, kita disajikan realitas historis pluralitas etnis, religius, dan gender dari masa kolonial sampai pasca kolonial di masing-masing Negara.
Dalam buku disebutkan bahwa di dunia non barat hanya sedikit daerah-daerah yang mengilustrasikan warisan dan tantangan pluralisme budaya secara lebih mencolok daripada negara-negara di Asia Tenggara yaitu Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Dalam teori politik Barat, masa 1930an dan1940an para pendahulu kolonial dari masyarakat itu dikenal dengan nama British Malaya dan Hindia Belanda, dianggap sebagai lokus klasik bagi konsep tentang “masyarakat majemuk”. Negara Malaysia, Singapura, dan Indonesia adalah contoh yang paling menonjol.
Dengan latar belakang perhatian yang lebih besar pada masalah pluralisme dalam teori domokrasi, dan perhatian yang lebih besar pada pengaruh yang kuat dari dua generasi pembentukan bangsa dan penciptan pasar terhadap wilayah pluralism di negara Malaysia, Singapura, dan Indonesia (yang diperumit dengan guncangan krisis ekonomi Asia). Buku ini merupakan hasil dari proyek penelitian dan pelatihan yang diorganisir oleh Robert W. Hefner, dan disponsori oleh Ford Foundation dari tahun 1998 sampai 2000, dengan judul “Southeast Asian Pluralisms: Social Resource for Civility and Participation in Malaysia, Singapore, and Indonesia.”
Menurut Robert W. Hefner, tujuan penelitian ini adalah untuk mendorong kaum intelektual di Malaysia, Singapura, dan Indonesia untuk merenungkan tantangan pluralisme etnis, religius, dan gender bagi kewarganegaraan dalam masyarakat mereka masing-masing. Para penulis buku berkumpul di Kuala Lumpur, Malaysia selama minggu pertama bulan Agustus 1999. Proyek itu melibatkan lima tim penelitian multidisipliner (dua dari Indonesia, dua dari Malaysia, dan satu dari Singapura).
Dalam buku ini dibahas salah satu masalah kritis dalam masyarakat-masyarakat seperti yang ada dalam kepulauan Asia Tenggara adalah bagaimana memfasilitasi interkasi damai dan kooperatif dalam suatu masyarakat dimana para warganya tidak memiliki perasaan mengenai diri sendiri sebagai sebuah bangsa atau sebuah budaya. Sesudah Perang dunia II, kemerdekaan Malaysia disapu gelombang kekerasan etnis pada tahun-tahun sesudah PD II dan tahun 1969. Di Singapura yang  didominasi oleh keturunan Cina menyaksikan kerusuhan etnis pada tahun 1964. Di Indonesia menyaksikan ledakan kekerasan komunal pada akhir 1950an dan 1965, lalu diguncang kekerasan  etnoreligius dari tahun 1996 sampai 2001.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Collins (1996: 23) Ada dimensi linguistik yang saling memrembes (permeable ethnicity). Jika dahulu merupakan sebuah bahasa lokal yang dipakai di pantai barat Borneo, Semenanjung Melayu, dan pantai timur Sumetera, namun sejak abad ke 16 bahasa Melayu menjadi bahasa kecendikiaan, niaga, diplomasi, dan agama yang paling terkemuka. Bahasa Melayu praktis digunakan di semua daerah di Asia Tenggara, mulusnya penyebaran bahasa ini mengisyaratkan adanya sesuatu yang penting mengenai sifat pluralisme di kawasan ini.
Agama adalah bagian yang tak terpisahkan dari etnisitas di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Hinduisme dan Budhisme datang di abad-abad pertama Masehi, lalu peralihan agama secara besar-besaran ke Islam dimulai di daerah-daerah pesisir kepulauan itu di abad ke 13. Agama islam terus menyebar dengan cepat sekali mengikuti jalur-jalur perdagangan utama sampai abad ke 17. Asia Tenggara adalah titik temu pluralistis bagi orang-orang dari segala penjuru Asia maritim. Sebagaimana dengan bahasa melayu, dorongan utama peralihan agama ke Islam bukanlah melalui penaklukan atau perang melainkan melalui perdagangan dan hubungan lintas etnis. Pengaitan antara otoritas keagamaan dan otoritas bangsawan yang disponsori oleh penjajah ini memberikan efek yang mendalam pada transformasi kultur Muslim Melayu yang terjadi kemudian, dan bersamaan itu juga pluralisme Malaysia.
Menurut R.W. Hefner, perkembangan multikulturalisme di Indonesia, Malaysia, dan Singapura mengalami semacam transisi kultural dari masa kolonial ke pasca kolonial. Adanya transisi kultural itu, mengindikasikan bahwa perkembangan pluralitas dalam masyarakat di tiga Negara tersebut sangat pesat. Mobilitas kultural dan hibriditas yang terlihat di seantero kawasan tersebut mengilustrasikan bahwa masyarakat pendukungnya bukan etnis-etnis tradisional yang tak mengenal perubahan. Sebaliknya masyarakat pendukungnya hidup dengan elemen-elemen yang berasal dari satu peradaban Melayu-Indonesia yang sama.
Diantara pendatang  Asia yang datang ke Asia Tenggara, orang-orang Cina mempunyai kedudukan istimewa karena mereka adalah penduduk yang paling banyak diantara minoritas-minoritas “Non-Melayu-Indonesia”. Orang Cina menjadi mitra penting dalam kebangkitan kembali perdagangan yang menggarisbawahi “Abad perdagangan” di Malaysia, Singapura, dan Indonesia dari abad ke 15 sampai abad ke 17. Pada masa kolonial abad ke 18 dan 19 orang-orang Belanda mulai memberikan ladang-ladang pajak pada orang-orang Cina. Kebijaksanaan itu mendorong pengusaha pribumi semakin jauh keluar dari dunia perdagangan sehingga memperluas jurang pemisah antara pribumi dengan Cina.
Di Indonesia kesadaran membangun kewarganegaraan inklusif dan politik sipil sudah ada sejak dibangunnya bangsa ini. Akan tetapi kesadaran tersebut belum tertanam dalam jiwa bangsa. Indonesia membuat Undang-undang Kewarganegaraan yang memberikan hak-hak warga negara setara pada semua orang Cina yang lahir di Indonesia dan mewajibkan orang-orang Cina keturunan Indonesia melepaskan kewarganegaraan Cina mereka. Pada tahun 1974 pemerintah Suharto melarang penggunaan bahasa pengantar Cina disetiap sekolah di Indonesia (literatur dan papan-papan nama dengan huruf Cina juga dilarang).
Berbeda dengan Malaysia, di negara ini isu etnisitas dan etnoreligius lebih kecil. Sebagaimana yang disebutkan Hefner dalam bunga rampai ini, hubungan melayu-cina (pribumi-pendatang) di Malaysia lebih mapan daripada di Indonesia. Di Malaysia sekolah-sekolah dengan bahasa Cina begitu marak, begitu pula dengan penggunaan bahasa dan alphabet Cina dalam papan-papan nama umum dan karya tulis. Tidak banyak keraguan mengenai sifat kewarganegaraan di Malaysia setelah merdeka, yang berkembang adalah sebuah kewarganegaraan yang dibeda-bedakan secara asimetris, yang memberikan hak-hak dasar warga negara pada orang-orang Cina dan India dengan imbalan hak-hak istimewa di bidang hukum, politik, dan ekonomi pada orang-orang Melayu.
Kerusuhan “ras” yang dahsyat pada Mei 1969 dipicu ketegangan antara orang-orang Melayu dan Cina pada masa pemilihan umum nasional. Memunculkan inisiatif perumusan NEP (New Economy Policy) yang berusaha menangani ketimpangan ekonomi antara orang-orang Melayu dan Cina. NEP berhasil dalam mengurangi kemiskinan Melayu dan termasuk salah satu program penyetaraan etnis yang sangat sukses di akhir abad ke 20.
Di semua hal tersebut, kita melihat perbedaan yang mendasar antara Malaysia dengan Indonesia mengenai masalah pluralisme pasca-kolonial. Memang Gagasan membeda-bedakan kewarganegaraan mengikuti garis etnis, khususnya dalam hubungan “pribumi” versus “cina”, dibahas panjang lebar pada pendirian negara Indonesia. Namun pada realitasnya, Indonesia belum menjadi negara multikultur seperti yang diharapkan. Di samping itu, intervensi kekuasaan negara terhadap kewarganegaraan juga turut mempengaruhi lahirnya isu-isu etnisitas dan etnoreligius. Kekuasaan Perdana Menteri Mahatir Muhammad di Malaysia, Presiden Lee Kuan Yew di Singapura, dan Presiden Suharto di Indonesia, melahirkan isu etnisitas dan etnoreligius berbeda-beda.
Perdana Menteri Mahathir Mohamad tidak ragu-ragu mengekploitasi ketakutan-ketakutan non-muslim terhadap kekerasan islam dan etnis. Hal ini dilakukan karena Perdana Menteri Mahathir Mohamad percaya harus mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan orang-orang Cina bahwa mereka adalah mitra yang penuh bagi dan dalam bangsa Malaysia sehingga harus ada kesetaraan. Pada awal krisis ekonomi Asia pada 1997-1998 Perdana Menteri Mahathir Mohamad menyerukan pada orang-orang Malaysia-Cina agar membeli saham-saham dala perusahaan-perusahaan yang dimiliki orang Melayu yang terancam bangkrut.
Di sini memperlihatkan adanya perbedaan yang mencolok dengan Suharto di Indonesia. Pada bulan-bulan akhir 1997 dan awal tahun 1998, Suharto dan anak-anaknya menanggapi krisis ekonomi yang semakin memburuk dengan menuduh orang-orang Indonesia-Cina sebagai dalang terjadinya krisis ekonomi tersebut untuk menjatuhkan Suharto. Indonesia diguncang kekerasan  etnoreligius dari tahun 1996 sampai 2001 sehingga Indonesia berada di pinggir jurang kewarganegaraan.
Dibawah rezim Suharto, negara mengakui lima agama nasional yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha lalu mewajibkan semua warganegara untuk menganut salah satu dari kelima agama tersebut. Yang membuat kacau pola pembedaan warga negara menurut agama adalah tindakan inkonsisten  Suharto mengenai masalah-masalah agama. Meskipun Suharto menyatakan diri setia pada Pancasila yang pluralis, dalam prkteknya ia dengan cekatan mengeksploitasi ketegangan-ketegangan religius dengan mengadu domba antara komunitas religius satu dengan yang lainnya. Kasus-kasus pembantaian etnis cina yang pernah terjadi di akhir pemerintahan Suharto, menjadi bukti betapa kuatnya etnisitas dan etnoreligius di Indonesia.
Dalam sejarah kolonialnya, Singapura, Malaysia, dan Indonesia merupakan bagian dari semenanjung Malaya. Meskipun begitu, situasi kultural dan politik Singapura berbeda jauh dari Negara tetangganya. Jika Malaysia dan Indonesia didominasi oleh “pribumi” dan muslim, masyarakat yang mendominasi Singapura adalah orang-orang keturunan Cina (77 %) di mana taka da satupun agama yang menikmati posisi hegemonis. Partai yang berkuasa di Singapura mempromosikan sebuah kebijaksanaan mengenai kewarganegaraan dn pluralisme etnoreligius dengan cara yang berbeda jauh dengan Indonesia dan Malaysia. Ketika bereaksi terhadap kegagalan usaha federasi dengan Malaysia pada 1965 kepemimpinan PAP (Peole’s Action Party) memberikan penekanan-penekanan mengenai meritokrasi dan kewarganegaraan yang tidak dibeda-bedakan menurut etnis dan agama.
Setelah tahun 1979, kampanye “Speak Mandarin” pemerintah mempromosikan bahasa Mandarin dan bukan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu bagi orang-orang Singapura-Cina. Dengan demikian, dalam menghadapi tantangan-tantangan pluralis yang sama tetapi menghadapi keseimbangan etnoreligius yang berbeda, Singapura telah bergerak menuju kebijaksanaan-kebijaksanaan kewarganegaraan yang berbeda jauh dari kedua negara tetangganya yaitu Malaysia dan Indonesia.
Dengan demikian, Isu etnisitas dan etnoreligius lebih banyak berkembang di Indonesia dan Malaysia, daripada di Singapura. Sebagaimana dikhawatirkan oleh Geertz, proses transisi kultural dari masa kolonial ke pasca-kolonial, di satu sisi, telah memunculkan persaingan-persaingan yang menghancurkan sivilitas, tetapi di sisi lain, proses itu juga meyakinkan semakin banyak orang tentang arti penting mambangun politik sipil dan kewarganegaraan inklusif.
C.    KELEBIHAN
Buku ini sangat menarik menceritakan secara panjang lebar mengenai problem-problem dan tantangan-tantangan pluralisme di negara Malaysia, Singapura, dan Indonesia baik saat masa kolonial maupun pasca-kolonial. Terutama di negara Malaysia dan Indonesia yang didalamnya terdapat konflik dari segi etnis, agama, dan kewarganegaraan antara orang pribumi versus orang-orang Cina. Kekuasaan Pemerintah di ketiga negara tersebut melahirkan isu etnisitas dan etnoreligius berbeda-beda. Setelah membaca buku ini saya mengetahui bahwa kewarganegaraan di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang dan sangat menarik untuk disimak. Buku ini perlu dibaca masyarakat luas guna merangsang tumbuhnya kesadaran untuk menghargai dan menghormati dalam perbedaan masyarakat Multikultural.
D.    KEKURANGAN
Karena terlalu banyak aspek yang dikaji dalam buku ini multikulturalisme dan kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia cukup sulit untuk dapat memahami isi buku sehingga perlu membaca beberapa kali. Meskipun problem-problem dan tantangan multikultural di negara Malaysia, Singapura, dan Indonesia sudah dibahas dan diupayakan pemecahannya sejak dulu, pada kenyataannya isu-isu pluralitas etnis, agama, budaya, hingga kewarganegaraan tetap terjadi sampai sekarang.