RESENSI
BUKU POLITIK MULTIKULTURALISME, Menggugat
Realitas Kebangsaan
(Multikulturalisme dan
Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia)
Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Konsep Dasar Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Drs.
Mahmud AR, SH, M.Si
Disusun
oleh :
Nama
: Riska Anggraini Saputri
Kelas : B
NIM : K6413062
PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
A.
IDENTITAS BUKU
Judul Buku : POLITIK MULTIKULTURALISME, Menggugat
Realitas Kebangsaan
Editor : Robert W. Hefner
Penerbit : Impulse, Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal Buku : 507 Halaman
Penerbit : Impulse, Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal Buku : 507 Halaman
B.
RESENSI
Buku Robert W. Hefner yang berjudul Politik Multikulturalisme,
Menggugat Realitas Kebangsaan bagian pendahuluan ini akan dibahas mengenai
Multikulturalisme dan kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Robert W. Hefner memilih ketiga negara pluralis ini karena Malaysia, Singapura,
dan Indonesia memiliki sejarah perkembangan multikultural yang sangat pesat dan
masing-masing mempunyai keunikan. Mulai dari pluralitas etnis, agama, budaya,
hingga kewarganegaraan. Persinggungan antara orang-orang melayu “pribumi”
versus cina “pendatang”, menjadi keunikan tersendiri dalam kajian etnisitas dan
etnoreligius di ketiga Negara tersebut. Dalam bunga rampai ini, kita disajikan
realitas historis pluralitas etnis, religius, dan gender dari masa kolonial
sampai pasca kolonial di masing-masing Negara.
Dalam buku disebutkan bahwa di dunia non barat hanya
sedikit daerah-daerah yang mengilustrasikan warisan dan tantangan pluralisme
budaya secara lebih mencolok daripada negara-negara di Asia Tenggara yaitu
Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Dalam teori politik Barat, masa 1930an
dan1940an para pendahulu kolonial dari masyarakat itu dikenal dengan nama
British Malaya dan Hindia Belanda, dianggap sebagai lokus klasik bagi konsep
tentang “masyarakat majemuk”. Negara Malaysia, Singapura, dan Indonesia adalah
contoh yang paling menonjol.
Dengan
latar belakang perhatian yang lebih besar pada masalah pluralisme dalam teori
domokrasi, dan perhatian yang lebih besar pada pengaruh yang kuat dari dua
generasi pembentukan bangsa dan penciptan pasar terhadap wilayah pluralism di
negara Malaysia, Singapura, dan Indonesia (yang diperumit dengan guncangan
krisis ekonomi Asia). Buku ini merupakan hasil dari proyek penelitian dan
pelatihan yang diorganisir oleh Robert W. Hefner, dan disponsori oleh Ford
Foundation dari tahun 1998 sampai 2000, dengan judul “Southeast Asian Pluralisms: Social Resource for Civility and
Participation in Malaysia, Singapore, and Indonesia.”
Menurut
Robert W. Hefner, tujuan penelitian ini adalah untuk mendorong kaum intelektual
di Malaysia, Singapura, dan Indonesia untuk merenungkan tantangan pluralisme
etnis, religius, dan gender bagi kewarganegaraan dalam masyarakat mereka
masing-masing. Para penulis buku berkumpul di Kuala Lumpur, Malaysia selama
minggu pertama bulan Agustus 1999. Proyek itu melibatkan lima tim penelitian
multidisipliner (dua dari Indonesia, dua dari Malaysia, dan satu dari
Singapura).
Dalam buku ini dibahas salah satu masalah kritis
dalam masyarakat-masyarakat seperti yang ada dalam kepulauan Asia Tenggara
adalah bagaimana memfasilitasi interkasi damai dan kooperatif dalam suatu
masyarakat dimana para warganya tidak memiliki perasaan mengenai diri sendiri
sebagai sebuah bangsa atau sebuah budaya. Sesudah Perang dunia II, kemerdekaan Malaysia
disapu gelombang kekerasan etnis pada tahun-tahun sesudah PD II dan tahun 1969.
Di Singapura yang didominasi oleh
keturunan Cina menyaksikan kerusuhan etnis pada tahun 1964. Di Indonesia
menyaksikan ledakan kekerasan komunal pada akhir 1950an dan 1965, lalu
diguncang kekerasan etnoreligius dari
tahun 1996 sampai 2001.
Sebagaimana
yang dikatakan oleh Collins (1996: 23) Ada dimensi linguistik yang saling
memrembes (permeable ethnicity). Jika
dahulu merupakan sebuah bahasa lokal yang dipakai di pantai barat Borneo,
Semenanjung Melayu, dan pantai timur Sumetera, namun sejak abad ke 16 bahasa
Melayu menjadi bahasa kecendikiaan, niaga, diplomasi, dan agama yang paling
terkemuka. Bahasa Melayu praktis digunakan di semua daerah di Asia Tenggara,
mulusnya penyebaran bahasa ini mengisyaratkan adanya sesuatu yang penting
mengenai sifat pluralisme di kawasan ini.
Agama
adalah bagian yang tak terpisahkan dari etnisitas di Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Hinduisme dan Budhisme datang di abad-abad pertama Masehi, lalu peralihan agama
secara besar-besaran ke Islam dimulai di daerah-daerah pesisir kepulauan itu di
abad ke 13. Agama islam terus menyebar dengan cepat sekali mengikuti
jalur-jalur perdagangan utama sampai abad ke 17. Asia Tenggara adalah titik
temu pluralistis bagi orang-orang dari segala penjuru Asia maritim. Sebagaimana
dengan bahasa melayu, dorongan utama peralihan agama ke Islam bukanlah melalui
penaklukan atau perang melainkan melalui perdagangan dan hubungan lintas etnis.
Pengaitan antara otoritas keagamaan dan otoritas bangsawan yang disponsori oleh
penjajah ini memberikan efek yang mendalam pada transformasi kultur Muslim
Melayu yang terjadi kemudian, dan bersamaan itu juga pluralisme Malaysia.
Menurut
R.W. Hefner, perkembangan multikulturalisme di Indonesia, Malaysia, dan
Singapura mengalami semacam transisi kultural dari masa kolonial ke pasca kolonial.
Adanya transisi kultural itu, mengindikasikan bahwa perkembangan pluralitas dalam
masyarakat di tiga Negara tersebut sangat pesat. Mobilitas kultural dan
hibriditas yang terlihat di seantero kawasan tersebut mengilustrasikan bahwa
masyarakat pendukungnya bukan etnis-etnis tradisional yang tak mengenal
perubahan. Sebaliknya masyarakat pendukungnya hidup dengan elemen-elemen yang
berasal dari satu peradaban Melayu-Indonesia yang sama.
Diantara
pendatang Asia yang datang ke Asia
Tenggara, orang-orang Cina mempunyai kedudukan istimewa karena mereka adalah
penduduk yang paling banyak diantara minoritas-minoritas “Non-Melayu-Indonesia”.
Orang Cina menjadi mitra penting dalam kebangkitan kembali perdagangan yang
menggarisbawahi “Abad perdagangan” di Malaysia, Singapura, dan Indonesia dari
abad ke 15 sampai abad ke 17. Pada masa kolonial abad ke 18 dan 19 orang-orang
Belanda mulai memberikan ladang-ladang pajak pada orang-orang Cina.
Kebijaksanaan itu mendorong pengusaha pribumi semakin jauh keluar dari dunia
perdagangan sehingga memperluas jurang pemisah antara pribumi dengan Cina.
Di Indonesia
kesadaran membangun kewarganegaraan inklusif dan politik sipil sudah ada sejak
dibangunnya bangsa ini. Akan tetapi kesadaran tersebut belum tertanam dalam
jiwa bangsa. Indonesia membuat Undang-undang Kewarganegaraan yang memberikan
hak-hak warga negara setara pada semua orang Cina yang lahir di Indonesia dan
mewajibkan orang-orang Cina keturunan Indonesia melepaskan kewarganegaraan Cina
mereka. Pada tahun 1974 pemerintah Suharto melarang penggunaan bahasa pengantar
Cina disetiap sekolah di Indonesia (literatur dan papan-papan nama dengan huruf
Cina juga dilarang).
Berbeda
dengan Malaysia, di negara ini isu etnisitas dan etnoreligius lebih kecil.
Sebagaimana yang disebutkan Hefner dalam bunga rampai ini, hubungan melayu-cina
(pribumi-pendatang) di Malaysia lebih mapan daripada di Indonesia. Di Malaysia
sekolah-sekolah dengan bahasa Cina begitu marak, begitu pula dengan penggunaan
bahasa dan alphabet Cina dalam papan-papan nama umum dan karya tulis. Tidak
banyak keraguan mengenai sifat kewarganegaraan di Malaysia setelah merdeka,
yang berkembang adalah sebuah kewarganegaraan yang dibeda-bedakan secara
asimetris, yang memberikan hak-hak dasar warga negara pada orang-orang Cina dan
India dengan imbalan hak-hak istimewa di bidang hukum, politik, dan ekonomi
pada orang-orang Melayu.
Kerusuhan
“ras” yang dahsyat pada Mei 1969 dipicu ketegangan antara orang-orang Melayu
dan Cina pada masa pemilihan umum nasional. Memunculkan inisiatif perumusan NEP
(New Economy Policy) yang berusaha
menangani ketimpangan ekonomi antara orang-orang Melayu dan Cina. NEP berhasil
dalam mengurangi kemiskinan Melayu dan termasuk salah satu program penyetaraan
etnis yang sangat sukses di akhir abad ke 20.
Di semua
hal tersebut, kita melihat perbedaan yang mendasar antara Malaysia dengan
Indonesia mengenai masalah pluralisme pasca-kolonial. Memang Gagasan
membeda-bedakan kewarganegaraan mengikuti garis etnis, khususnya dalam hubungan
“pribumi” versus “cina”, dibahas panjang lebar pada pendirian negara Indonesia.
Namun pada realitasnya, Indonesia belum menjadi negara multikultur seperti yang
diharapkan. Di samping itu, intervensi kekuasaan negara terhadap
kewarganegaraan juga turut mempengaruhi lahirnya isu-isu etnisitas dan etnoreligius.
Kekuasaan Perdana Menteri Mahatir Muhammad di Malaysia, Presiden Lee Kuan Yew
di Singapura, dan Presiden Suharto di Indonesia, melahirkan isu etnisitas dan
etnoreligius berbeda-beda.
Perdana
Menteri Mahathir Mohamad tidak ragu-ragu mengekploitasi ketakutan-ketakutan
non-muslim terhadap kekerasan islam dan etnis. Hal ini dilakukan karena Perdana
Menteri Mahathir Mohamad percaya harus mengambil langkah-langkah untuk
meyakinkan orang-orang Cina bahwa mereka adalah mitra yang penuh bagi dan dalam
bangsa Malaysia sehingga harus ada kesetaraan. Pada awal krisis ekonomi Asia
pada 1997-1998 Perdana Menteri Mahathir Mohamad menyerukan pada orang-orang
Malaysia-Cina agar membeli saham-saham dala perusahaan-perusahaan yang dimiliki
orang Melayu yang terancam bangkrut.
Di sini
memperlihatkan adanya perbedaan yang mencolok dengan Suharto di Indonesia. Pada
bulan-bulan akhir 1997 dan awal tahun 1998, Suharto dan anak-anaknya menanggapi
krisis ekonomi yang semakin memburuk dengan menuduh orang-orang Indonesia-Cina
sebagai dalang terjadinya krisis ekonomi tersebut untuk menjatuhkan Suharto. Indonesia
diguncang kekerasan etnoreligius dari
tahun 1996 sampai 2001 sehingga
Indonesia berada di pinggir jurang kewarganegaraan.
Dibawah rezim Suharto, negara mengakui lima agama
nasional yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha lalu mewajibkan
semua warganegara untuk menganut salah satu dari kelima agama tersebut. Yang
membuat kacau pola pembedaan warga negara menurut agama adalah tindakan
inkonsisten Suharto mengenai
masalah-masalah agama. Meskipun Suharto menyatakan diri setia pada Pancasila
yang pluralis, dalam prkteknya ia dengan cekatan mengeksploitasi
ketegangan-ketegangan religius dengan mengadu domba antara komunitas religius
satu dengan yang lainnya. Kasus-kasus
pembantaian etnis cina yang pernah terjadi di akhir pemerintahan Suharto,
menjadi bukti betapa kuatnya etnisitas dan etnoreligius di Indonesia.
Dalam
sejarah kolonialnya, Singapura, Malaysia, dan Indonesia merupakan bagian dari
semenanjung Malaya. Meskipun begitu, situasi kultural dan politik Singapura
berbeda jauh dari Negara tetangganya. Jika Malaysia dan Indonesia didominasi
oleh “pribumi” dan muslim, masyarakat yang mendominasi Singapura adalah orang-orang
keturunan Cina (77 %) di mana taka da satupun agama yang menikmati posisi
hegemonis. Partai yang berkuasa di Singapura mempromosikan sebuah kebijaksanaan
mengenai kewarganegaraan dn pluralisme etnoreligius dengan cara yang berbeda
jauh dengan Indonesia dan Malaysia. Ketika bereaksi terhadap kegagalan usaha
federasi dengan Malaysia pada 1965 kepemimpinan PAP (Peole’s Action Party) memberikan penekanan-penekanan mengenai
meritokrasi dan kewarganegaraan yang tidak dibeda-bedakan menurut etnis dan agama.
Setelah
tahun 1979, kampanye “Speak Mandarin” pemerintah
mempromosikan bahasa Mandarin dan bukan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu bagi
orang-orang Singapura-Cina. Dengan demikian, dalam menghadapi
tantangan-tantangan pluralis yang sama tetapi menghadapi keseimbangan
etnoreligius yang berbeda, Singapura telah bergerak menuju
kebijaksanaan-kebijaksanaan kewarganegaraan yang berbeda jauh dari kedua negara
tetangganya yaitu Malaysia dan Indonesia.
Dengan
demikian, Isu etnisitas dan etnoreligius lebih banyak berkembang di Indonesia
dan Malaysia, daripada di Singapura. Sebagaimana dikhawatirkan oleh Geertz,
proses transisi kultural dari masa kolonial ke pasca-kolonial, di satu sisi,
telah memunculkan persaingan-persaingan yang menghancurkan sivilitas, tetapi di
sisi lain, proses itu juga meyakinkan semakin banyak orang tentang arti penting
mambangun politik sipil dan kewarganegaraan inklusif.
C.
KELEBIHAN
Buku ini sangat
menarik menceritakan secara panjang lebar mengenai problem-problem dan
tantangan-tantangan pluralisme di negara Malaysia, Singapura, dan Indonesia
baik saat masa kolonial maupun pasca-kolonial. Terutama di negara Malaysia dan
Indonesia yang didalamnya terdapat konflik dari segi etnis, agama, dan
kewarganegaraan antara orang pribumi versus orang-orang Cina. Kekuasaan
Pemerintah di ketiga negara tersebut melahirkan isu etnisitas dan etnoreligius
berbeda-beda. Setelah membaca buku ini saya mengetahui bahwa kewarganegaraan di
Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang dan sangat menarik untuk disimak.
Buku ini perlu dibaca masyarakat luas guna merangsang tumbuhnya kesadaran untuk
menghargai dan menghormati dalam perbedaan masyarakat Multikultural.
D.
KEKURANGAN
Karena terlalu banyak aspek yang dikaji dalam buku ini
multikulturalisme dan kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia
cukup sulit untuk dapat memahami isi buku sehingga perlu membaca beberapa kali.
Meskipun problem-problem dan tantangan multikultural di negara Malaysia,
Singapura, dan Indonesia sudah dibahas dan diupayakan pemecahannya sejak dulu,
pada kenyataannya isu-isu pluralitas etnis, agama, budaya, hingga
kewarganegaraan tetap terjadi sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar