Sabtu, 30 April 2016

RESENSI BUKU POLITIK MULTIKULTURALISME, Menggugat Realitas Kebangsaan



RESENSI BUKU  POLITIK MULTIKULTURALISME, Menggugat Realitas Kebangsaan
(Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia)
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Konsep Dasar Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Drs. Mahmud AR, SH, M.Si

                                                       Disusun oleh :

Nama          : Riska Anggraini Saputri
Kelas           : B
NIM            : K6413062

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
                      UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
A.          IDENTITAS BUKU
Judul Buku         : POLITIK MULTIKULTURALISME, Menggugat
  Realitas Kebangsaan
Editor                 : Robert W. Hefner
Penerbit              : Impulse, Kanisius, Yogyakarta
Cetakan              : I, 2007
Tebal Buku         : 507 Halaman
B.           RESENSI
Buku Robert W. Hefner yang berjudul Politik Multikulturalisme, Menggugat Realitas Kebangsaan bagian pendahuluan ini akan dibahas mengenai Multikulturalisme dan kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Robert W. Hefner memilih ketiga negara pluralis ini karena Malaysia, Singapura, dan Indonesia memiliki sejarah perkembangan multikultural yang sangat pesat dan masing-masing mempunyai keunikan. Mulai dari pluralitas etnis, agama, budaya, hingga kewarganegaraan. Persinggungan antara orang-orang melayu “pribumi” versus cina “pendatang”, menjadi keunikan tersendiri dalam kajian etnisitas dan etnoreligius di ketiga Negara tersebut. Dalam bunga rampai ini, kita disajikan realitas historis pluralitas etnis, religius, dan gender dari masa kolonial sampai pasca kolonial di masing-masing Negara.
Dalam buku disebutkan bahwa di dunia non barat hanya sedikit daerah-daerah yang mengilustrasikan warisan dan tantangan pluralisme budaya secara lebih mencolok daripada negara-negara di Asia Tenggara yaitu Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Dalam teori politik Barat, masa 1930an dan1940an para pendahulu kolonial dari masyarakat itu dikenal dengan nama British Malaya dan Hindia Belanda, dianggap sebagai lokus klasik bagi konsep tentang “masyarakat majemuk”. Negara Malaysia, Singapura, dan Indonesia adalah contoh yang paling menonjol.
Dengan latar belakang perhatian yang lebih besar pada masalah pluralisme dalam teori domokrasi, dan perhatian yang lebih besar pada pengaruh yang kuat dari dua generasi pembentukan bangsa dan penciptan pasar terhadap wilayah pluralism di negara Malaysia, Singapura, dan Indonesia (yang diperumit dengan guncangan krisis ekonomi Asia). Buku ini merupakan hasil dari proyek penelitian dan pelatihan yang diorganisir oleh Robert W. Hefner, dan disponsori oleh Ford Foundation dari tahun 1998 sampai 2000, dengan judul “Southeast Asian Pluralisms: Social Resource for Civility and Participation in Malaysia, Singapore, and Indonesia.”
Menurut Robert W. Hefner, tujuan penelitian ini adalah untuk mendorong kaum intelektual di Malaysia, Singapura, dan Indonesia untuk merenungkan tantangan pluralisme etnis, religius, dan gender bagi kewarganegaraan dalam masyarakat mereka masing-masing. Para penulis buku berkumpul di Kuala Lumpur, Malaysia selama minggu pertama bulan Agustus 1999. Proyek itu melibatkan lima tim penelitian multidisipliner (dua dari Indonesia, dua dari Malaysia, dan satu dari Singapura).
Dalam buku ini dibahas salah satu masalah kritis dalam masyarakat-masyarakat seperti yang ada dalam kepulauan Asia Tenggara adalah bagaimana memfasilitasi interkasi damai dan kooperatif dalam suatu masyarakat dimana para warganya tidak memiliki perasaan mengenai diri sendiri sebagai sebuah bangsa atau sebuah budaya. Sesudah Perang dunia II, kemerdekaan Malaysia disapu gelombang kekerasan etnis pada tahun-tahun sesudah PD II dan tahun 1969. Di Singapura yang  didominasi oleh keturunan Cina menyaksikan kerusuhan etnis pada tahun 1964. Di Indonesia menyaksikan ledakan kekerasan komunal pada akhir 1950an dan 1965, lalu diguncang kekerasan  etnoreligius dari tahun 1996 sampai 2001.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Collins (1996: 23) Ada dimensi linguistik yang saling memrembes (permeable ethnicity). Jika dahulu merupakan sebuah bahasa lokal yang dipakai di pantai barat Borneo, Semenanjung Melayu, dan pantai timur Sumetera, namun sejak abad ke 16 bahasa Melayu menjadi bahasa kecendikiaan, niaga, diplomasi, dan agama yang paling terkemuka. Bahasa Melayu praktis digunakan di semua daerah di Asia Tenggara, mulusnya penyebaran bahasa ini mengisyaratkan adanya sesuatu yang penting mengenai sifat pluralisme di kawasan ini.
Agama adalah bagian yang tak terpisahkan dari etnisitas di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Hinduisme dan Budhisme datang di abad-abad pertama Masehi, lalu peralihan agama secara besar-besaran ke Islam dimulai di daerah-daerah pesisir kepulauan itu di abad ke 13. Agama islam terus menyebar dengan cepat sekali mengikuti jalur-jalur perdagangan utama sampai abad ke 17. Asia Tenggara adalah titik temu pluralistis bagi orang-orang dari segala penjuru Asia maritim. Sebagaimana dengan bahasa melayu, dorongan utama peralihan agama ke Islam bukanlah melalui penaklukan atau perang melainkan melalui perdagangan dan hubungan lintas etnis. Pengaitan antara otoritas keagamaan dan otoritas bangsawan yang disponsori oleh penjajah ini memberikan efek yang mendalam pada transformasi kultur Muslim Melayu yang terjadi kemudian, dan bersamaan itu juga pluralisme Malaysia.
Menurut R.W. Hefner, perkembangan multikulturalisme di Indonesia, Malaysia, dan Singapura mengalami semacam transisi kultural dari masa kolonial ke pasca kolonial. Adanya transisi kultural itu, mengindikasikan bahwa perkembangan pluralitas dalam masyarakat di tiga Negara tersebut sangat pesat. Mobilitas kultural dan hibriditas yang terlihat di seantero kawasan tersebut mengilustrasikan bahwa masyarakat pendukungnya bukan etnis-etnis tradisional yang tak mengenal perubahan. Sebaliknya masyarakat pendukungnya hidup dengan elemen-elemen yang berasal dari satu peradaban Melayu-Indonesia yang sama.
Diantara pendatang  Asia yang datang ke Asia Tenggara, orang-orang Cina mempunyai kedudukan istimewa karena mereka adalah penduduk yang paling banyak diantara minoritas-minoritas “Non-Melayu-Indonesia”. Orang Cina menjadi mitra penting dalam kebangkitan kembali perdagangan yang menggarisbawahi “Abad perdagangan” di Malaysia, Singapura, dan Indonesia dari abad ke 15 sampai abad ke 17. Pada masa kolonial abad ke 18 dan 19 orang-orang Belanda mulai memberikan ladang-ladang pajak pada orang-orang Cina. Kebijaksanaan itu mendorong pengusaha pribumi semakin jauh keluar dari dunia perdagangan sehingga memperluas jurang pemisah antara pribumi dengan Cina.
Di Indonesia kesadaran membangun kewarganegaraan inklusif dan politik sipil sudah ada sejak dibangunnya bangsa ini. Akan tetapi kesadaran tersebut belum tertanam dalam jiwa bangsa. Indonesia membuat Undang-undang Kewarganegaraan yang memberikan hak-hak warga negara setara pada semua orang Cina yang lahir di Indonesia dan mewajibkan orang-orang Cina keturunan Indonesia melepaskan kewarganegaraan Cina mereka. Pada tahun 1974 pemerintah Suharto melarang penggunaan bahasa pengantar Cina disetiap sekolah di Indonesia (literatur dan papan-papan nama dengan huruf Cina juga dilarang).
Berbeda dengan Malaysia, di negara ini isu etnisitas dan etnoreligius lebih kecil. Sebagaimana yang disebutkan Hefner dalam bunga rampai ini, hubungan melayu-cina (pribumi-pendatang) di Malaysia lebih mapan daripada di Indonesia. Di Malaysia sekolah-sekolah dengan bahasa Cina begitu marak, begitu pula dengan penggunaan bahasa dan alphabet Cina dalam papan-papan nama umum dan karya tulis. Tidak banyak keraguan mengenai sifat kewarganegaraan di Malaysia setelah merdeka, yang berkembang adalah sebuah kewarganegaraan yang dibeda-bedakan secara asimetris, yang memberikan hak-hak dasar warga negara pada orang-orang Cina dan India dengan imbalan hak-hak istimewa di bidang hukum, politik, dan ekonomi pada orang-orang Melayu.
Kerusuhan “ras” yang dahsyat pada Mei 1969 dipicu ketegangan antara orang-orang Melayu dan Cina pada masa pemilihan umum nasional. Memunculkan inisiatif perumusan NEP (New Economy Policy) yang berusaha menangani ketimpangan ekonomi antara orang-orang Melayu dan Cina. NEP berhasil dalam mengurangi kemiskinan Melayu dan termasuk salah satu program penyetaraan etnis yang sangat sukses di akhir abad ke 20.
Di semua hal tersebut, kita melihat perbedaan yang mendasar antara Malaysia dengan Indonesia mengenai masalah pluralisme pasca-kolonial. Memang Gagasan membeda-bedakan kewarganegaraan mengikuti garis etnis, khususnya dalam hubungan “pribumi” versus “cina”, dibahas panjang lebar pada pendirian negara Indonesia. Namun pada realitasnya, Indonesia belum menjadi negara multikultur seperti yang diharapkan. Di samping itu, intervensi kekuasaan negara terhadap kewarganegaraan juga turut mempengaruhi lahirnya isu-isu etnisitas dan etnoreligius. Kekuasaan Perdana Menteri Mahatir Muhammad di Malaysia, Presiden Lee Kuan Yew di Singapura, dan Presiden Suharto di Indonesia, melahirkan isu etnisitas dan etnoreligius berbeda-beda.
Perdana Menteri Mahathir Mohamad tidak ragu-ragu mengekploitasi ketakutan-ketakutan non-muslim terhadap kekerasan islam dan etnis. Hal ini dilakukan karena Perdana Menteri Mahathir Mohamad percaya harus mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan orang-orang Cina bahwa mereka adalah mitra yang penuh bagi dan dalam bangsa Malaysia sehingga harus ada kesetaraan. Pada awal krisis ekonomi Asia pada 1997-1998 Perdana Menteri Mahathir Mohamad menyerukan pada orang-orang Malaysia-Cina agar membeli saham-saham dala perusahaan-perusahaan yang dimiliki orang Melayu yang terancam bangkrut.
Di sini memperlihatkan adanya perbedaan yang mencolok dengan Suharto di Indonesia. Pada bulan-bulan akhir 1997 dan awal tahun 1998, Suharto dan anak-anaknya menanggapi krisis ekonomi yang semakin memburuk dengan menuduh orang-orang Indonesia-Cina sebagai dalang terjadinya krisis ekonomi tersebut untuk menjatuhkan Suharto. Indonesia diguncang kekerasan  etnoreligius dari tahun 1996 sampai 2001 sehingga Indonesia berada di pinggir jurang kewarganegaraan.
Dibawah rezim Suharto, negara mengakui lima agama nasional yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha lalu mewajibkan semua warganegara untuk menganut salah satu dari kelima agama tersebut. Yang membuat kacau pola pembedaan warga negara menurut agama adalah tindakan inkonsisten  Suharto mengenai masalah-masalah agama. Meskipun Suharto menyatakan diri setia pada Pancasila yang pluralis, dalam prkteknya ia dengan cekatan mengeksploitasi ketegangan-ketegangan religius dengan mengadu domba antara komunitas religius satu dengan yang lainnya. Kasus-kasus pembantaian etnis cina yang pernah terjadi di akhir pemerintahan Suharto, menjadi bukti betapa kuatnya etnisitas dan etnoreligius di Indonesia.
Dalam sejarah kolonialnya, Singapura, Malaysia, dan Indonesia merupakan bagian dari semenanjung Malaya. Meskipun begitu, situasi kultural dan politik Singapura berbeda jauh dari Negara tetangganya. Jika Malaysia dan Indonesia didominasi oleh “pribumi” dan muslim, masyarakat yang mendominasi Singapura adalah orang-orang keturunan Cina (77 %) di mana taka da satupun agama yang menikmati posisi hegemonis. Partai yang berkuasa di Singapura mempromosikan sebuah kebijaksanaan mengenai kewarganegaraan dn pluralisme etnoreligius dengan cara yang berbeda jauh dengan Indonesia dan Malaysia. Ketika bereaksi terhadap kegagalan usaha federasi dengan Malaysia pada 1965 kepemimpinan PAP (Peole’s Action Party) memberikan penekanan-penekanan mengenai meritokrasi dan kewarganegaraan yang tidak dibeda-bedakan menurut etnis dan agama.
Setelah tahun 1979, kampanye “Speak Mandarin” pemerintah mempromosikan bahasa Mandarin dan bukan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu bagi orang-orang Singapura-Cina. Dengan demikian, dalam menghadapi tantangan-tantangan pluralis yang sama tetapi menghadapi keseimbangan etnoreligius yang berbeda, Singapura telah bergerak menuju kebijaksanaan-kebijaksanaan kewarganegaraan yang berbeda jauh dari kedua negara tetangganya yaitu Malaysia dan Indonesia.
Dengan demikian, Isu etnisitas dan etnoreligius lebih banyak berkembang di Indonesia dan Malaysia, daripada di Singapura. Sebagaimana dikhawatirkan oleh Geertz, proses transisi kultural dari masa kolonial ke pasca-kolonial, di satu sisi, telah memunculkan persaingan-persaingan yang menghancurkan sivilitas, tetapi di sisi lain, proses itu juga meyakinkan semakin banyak orang tentang arti penting mambangun politik sipil dan kewarganegaraan inklusif.
C.    KELEBIHAN
Buku ini sangat menarik menceritakan secara panjang lebar mengenai problem-problem dan tantangan-tantangan pluralisme di negara Malaysia, Singapura, dan Indonesia baik saat masa kolonial maupun pasca-kolonial. Terutama di negara Malaysia dan Indonesia yang didalamnya terdapat konflik dari segi etnis, agama, dan kewarganegaraan antara orang pribumi versus orang-orang Cina. Kekuasaan Pemerintah di ketiga negara tersebut melahirkan isu etnisitas dan etnoreligius berbeda-beda. Setelah membaca buku ini saya mengetahui bahwa kewarganegaraan di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang dan sangat menarik untuk disimak. Buku ini perlu dibaca masyarakat luas guna merangsang tumbuhnya kesadaran untuk menghargai dan menghormati dalam perbedaan masyarakat Multikultural.
D.    KEKURANGAN
Karena terlalu banyak aspek yang dikaji dalam buku ini multikulturalisme dan kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia cukup sulit untuk dapat memahami isi buku sehingga perlu membaca beberapa kali. Meskipun problem-problem dan tantangan multikultural di negara Malaysia, Singapura, dan Indonesia sudah dibahas dan diupayakan pemecahannya sejak dulu, pada kenyataannya isu-isu pluralitas etnis, agama, budaya, hingga kewarganegaraan tetap terjadi sampai sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar